Site icon kebudayaanbetawi.com

Betawi Menulis Betawi, Sebuah Karya

Betawi Menulis Betawi

Cover buku terbitan Masup Jakarta/Doc LKB

kebudayaan betawi – Betawi Menulis Betawi sebuah karya tulisan Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra yang memiliki tujuan mengembangkan Sastra tulis Betawi baik yang modern maupun yang berasal dari masa lalu, nampaknya belum sempat dicatat dan dianalisis secara sungguh-sungguh……

Berikut Karya yang terbarunya Kita Simak

—————————————————————————————————————-

Betawi Menulis Betawi
Penulis : Yahya Andi Saputra

Mulanya
Betawi Menulis Betawi – Bila bicara mulanya, belum ada mula yang benar-benar jaminan mutu muttafakun alaihi, kapankah orang Betawi mulai menulis, baik menulis karya ilmiah, fiksi, ataupun ceker ayam suka-suka. Tetapi informasi tentang kearifan lokalnya – nilai dan pranata (sosial budaya) – telah tersampaikan secara apik dan menjadi tatalaku keseharian masyarakat Betawi secara turun-temurun. Misalnya saja sistem kepercayaan orang Betawi. Agama atau kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Betawi adalah Islam, dan dijadikan pedoman utama kehidupannya sebagai focus kebudayaan. Tiap aspek kehidupan orang Betawi selalu dikaitkan dengan Agama Islam. Hal yang merupakan pandangan hidup orang Betawi yang harus dilaksanakan yaitu jika waktu panggilan sembahyang telah tiba, harus segera dilaksanakan; orang meninggal harus segera dimakamkan; jika ada tamu, harus segera dijamu sesuai dengan kemampuan.

Informasi itu disampaikan oleh bebongkot (tetua leluhur) yang berperan sebagai pemimpin informal, guru, seniman, dukun, jago, tukang dan praktisi lainnya. Merekalah yang ilmu, pengetahuan serta pengalamannya paling mumpuni dan dipercaya pada bidangnya masing-masing. Karena kemampuan menulis belum biasa, maka penyampaiannya tentu dengan tuturan lisan. Bentuknya bermacam-macam. Ada pituah, ada pantun, ada jampe, dongeng, hikayat, dan sebagainya.

Apabila dikaitkan dengan kelisanan atau kesastraan, maka dikenallah sastra lisan yang digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, Buleng, yaitu cerita naratif yang menceritakan kerajaan-kerajaan lokal (dahulu disampaikan dalam bentuk pantun, kini narasi berdongeng biasa). Pendukung utamanya  berada di daerah pinggiran wilayah budaya Betawi yang berbatasan dengan wilayah budaya Sunda. Tak mengherankan jika kelompok ini cenderung memilih cerita-cerita yang berwarna kesundaan, seperti :  Ciung Wanara, Telaga Warna, Raden Gondang, Gagak Rancang, Prabu Siliwangi, dan lain-lain.

Kedua, Sohibul Hikayat, yaitu cerita yang disampaikan dalam bentuk prosa. Masyarakat pendukungnya terdapat di tengah-tengah wikayah budaya Betawi. Pendukungnya berasal dari Betawi Tengah yang berinteraksi dan berkehidupan sosial dengan kelompok etnis Melayu dan Arab. Pada kelompok masyarakat ini ceritanya kebanyakan bersal dari Timur Tengah. Antara lain bersumber pada kitab Seribu Satu Malam, maka muncul cerita seperti :  Hasan Husin, Ahmad Muhammad, Nurullaila Putri Jin,Sahrul Indara Bangsawan, dan lain sebagainya.

Ketiga, Rancag (sering ditulis rancak), yaitu cerita yang disampaikan dalam bentuk pantun berkait diiringi musik gambang kromong. Pendukungnya berada di daerah pinggiran budaya Betawi terutama di bagian Utara. Masyarakat pendukungnya adalah orang Betawi yang kerap kali berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat Tionghoa. Masyarakat ini cenderung memilih cerita-cerita seperti :  Si Angki Jago Pasar Ikan, Mat Tompel, Si Pitung, atau Phoa Sie Lie Tan, dan Sam Pek Eng Tay.

Manuskrip Betawi

Berdasarkan kebiasaan orang Betawi mendengarkan pembacaan hikayat yang disampaikan tukang cerita atau syahibul hikayat, kita dapat memperkirakan sejak kapan masyarakat Betawi mengenal dan mengembangkan kesusastraannya. Hikayat yang terkenal dan sering disampaikan tukang cerita adalah Hikayat Sultan Taburat. Hikayat ini berbentuk cerita berbingkai. Disampaikan dalam bahasa Betawi, dan terdiri dari beberapa episode cerita. Karena terdiri dari beberapa episode cerita, maka banyak tokoh bermunculan. Banyak pula peristiwa datang silih berganti. Semuanya kemudian seolah-olah terpusat pada diri tokoh utamanya, Indra Buganda Syafandar Syah. Jadi, Hikayat Sultan Taburat sebenarnya berkisah tentang pengembaraan tokoh Indra Buganda Syafandar Syah itu.

Hikayat Sultan Taburat sudah dikenal masyarakat Betawi sekitar tahun 1880-an. Ada juga yang mengatakannya, sebelumnya. Menurut penuturan orang-orang tua, tukang cerita yang sangat terkenal dan paling disukai dalam membawakan atau menyampaikan Hikayat Sultan Taburat adalah Haji Jafar. Kepiawaian Haji Jafar ini, selain cara penuturannya, juga lantaran kepandaiannya menyanyi. Memang, seorang tukang cerita dituntut hapal berbagai cerita. Ia juga harus mahir membawakannya secara enak. Tidak kalah pentingnya, tukang cerita juga harus pandai bernyanyi. Selain Hikayat Sultan-a, ada pula cerita lain yang cukup terkenal, yaitu Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan naskah yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional, Hikayat Amir Hamzah ditulis tahun 1821, tetapi tidak diketahui siapa penulisnya.

Pada tahun 1870, Bakir mulai menulis Hikayat Sultan Taburat yang berasal dari kesusastraan lisan. Hal yang sama juga dilakukan pada cerita-cerita lain yang juga berasal dari kesusastraan lisan, seperti Hikayat Para Sahabat Nabi. Di antara penyalin atau penulis naskah itu, Haji Muhammad Bakir termasuk salah seorang pujangga Betawi yang terkenal. Ia memperkenalkan Hikayat Sultan Taburat dalam bentuk naskah buku. Tulisannya menggu-nakan huruf Jawi, yaitu huruf Arab, berbahasa Melayu Betawi. Haji Bakir inilah yang memelopori kesusastraan Betawi dalam bentuk tertulis.

Bersamaan dengan itu, beberapa penulis mencetak karyanya. Naskah-naskah yang tadinya ditulis tangan, sekarang dicetak. Ada yang menggunakan huruf Jawi, ada pula yang menggunakan huruf Latin. Dikenalnya alat percetakan ini, memudahkan orang mencetak buku. Bahkan kemudian berkembang dengan mencetak majalah dan surat kabar.

Banyak kemudian dicetak buku-buku keagamaan karya ulama Betawi. Mereka yang lazim mencetak karyanya antara lain : Habib Usman bin Yahya (Sifat Duapuluh, Perukunan Melayu, Babul Minan, dan lain-lain. Kitab-kitab ini menjadi rujukan bagi muallim untuk mengajar di lingkungannya); Muhammad Shihabuddin Alwi (Syair Ikan di Laut dan lain-lain). Para penulis Tionghoa pun tidak ketinggalan dalam hal cetak-mencetak ini. Jika karya penulis Arba Betawi ditulis dengan huruf Jawi atau Arab Gundul, maka karya penulis Tionghoa Betawi lebih banyak ditulis dan dicetak dengan huruf Latin.

Betawi di Pentas Nasional

Ketika Mahbub Djunai dimenulis artikel berjudul “Ane Ente di Condet” dalam majalah Jendela Betawi, rasanya Mahbub tidak sungguh-sungguh ingin melihat sekaligus membela Betawi (Condet), etnis metropolitan yang melahirkannya sebagai manusia modern. Mahbub terlalu memandang hitam-putih keputusan/ kebijaksanaan yang dicanangkan oleh pemerintah, khususnya mengenai hidup-mati orang dan kebudayaan Condet. Atau hal itu mencuat dari latar belakangnya sebagai politisi pada posisi oposan. Simak saja kutipan ini, “Ratusan ribu turis rela tercengang-cengang setiap tahunnya, merogoh kantong tidak apa, asal ganjil.”

Apa dan siapa pun manusia yang bernama Mahbub Djunaidi, kita tak seharusnya menuntutnya untuk benar-benar menjadi Betawi apalagi menjadi revolusioner berideologi Betawi. Mahbub salah satu manusia langka asal Betawi yang kiprahnya bukan untuk etnis. Paling tidak kita mendapatkan pengakuan jujur Mahbub tentang ketidakmampuannya menulis apalagi membela Betawi seperti yang diungkapkannya dalam salah satu surat yang dikirim kepada sohib kentalnya, Hussein Badjerei, “Sejak zaman Firman Muntaco aku merasa tidak bisa bicara soal Betawi. Inilah bedanya aku dengan Ridwan Saidi. Sebagai pengarang aku bisa bahasa Indonesia, dan tidak bisa menulis Betawi”. Kata Mahbub dalam suratnya (Bandung, 23 September 1995).

Bisa jadi Mahbub ngeles alias menghindar dari persoalan Betawi karena dia takut dirinya menjadi kecil, seperti pengakuannya di hadapan Ridwan Saidi. Selebihnya dia memang tidak berpaham primordial. Dia penganjur persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain dia telah melangkah jauh ke zaman global, saat manusia Indonesia masih membincangkannya.

Tapi lepas dari itu semua, kita patut bersyukur kepada Allah bahwa Betawi pernah dikaruniai seorang hamba yang cerdas, spontan, keras tapi polos, jenaka tapi beringas, sedikit melarat tapi bebas, dan pandai meletakkan awaknya pada posisi strategis. Itulah barangkali yang membuat Sang Pendekar Pena ini tetap dicintai dan dihormati oleh lawan dan terutama kawan. Semua lembaga pemerintah maupun non-pemerintah kerap kali menjadi sasarankritiknya. Semua pejabat formal maupun informal pernah jadi bulan-bulanan mata penanya. Semua ormas dan orsospol sering dibabat habis-habisan oleh panas mata penanya.

Mahbub sosok yang benar-benar mencintai tanah air dan saudara sebangsanya. Semangat membangun dan memperbaiki keadaan negara, melempangkan akhlak para pejabat dan seluruh handai taulannya. Saya akur seratus persen dengan pendapat Bang Ridwan Saidi yang menyatakan bahwa Mahbub mengkritik, tetapi tidak mempermalukan. Mahbub menyerang, tetapi tidak menelanjangi. Mahbub menyodok, tetapi tak menohok.

Mahbub bukan manusia spesialis yang melulu menulis satu topik saja melainkan manusia multi topik atau multi dimensional yang meraup dan menulis seluruh aspek. Ini jelas-jelasan diakui seperti pernah diutarakan dalam salah satu artikelnya dalamKompas (14 Juni 1985). Begini katanya, “Kekurangan saya itu terbawa terus hingga hari ini, temasuk ke dunia tulis menulis. Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul.

Mahbub memiliki kekuatan tersendiri dalam dunia jurnalistik Indonesia. Aneka masalah yang pahit dan serba suram-buram, sanggup diramunya menjadi semacam bahan olok-olok. Di kepalanya memancar mata air gagasan yang tidak pernah kering yang sebagiannya telah berhasil diapungkan melalui canda dan humor yang segar. Buktikanlah pada kumpulan tulisannya Humor Jurnalistik yang terbit tahun 1986 yang nongol hampir sembilan tahun di Kompas Minggu dan diterbitkan awal 1996.

Kepedulian Mahbub pada seluruh aspek kehidupan itu tidak hanya dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang lembut, cemerlang, dan lugas. Dalam tingkah laku kesehariannya pun tergambar semua. Misalnya, urusan setiakawan. Mahbub, tidak ingin menyakitkan hati saiapa pun. Ia sangat telaten dengan persoalan yang dihadapi temannya. Ia tidak pernah menganggap entang apa yang menjadi hak orang lain. Walau hari menunjukkan pukul 23.00 malam, menurut Ridwan Saidi, Mahbub mengetuk-ngetuk rumah sahabatnya sekadar mengantarkan lusinan botol kecap titipan.

Kesetiakawannya terus-menerus dipupuk yang dari hari kehari (Dari Harike HariI adalah romannya yang pertama dan terbit 1982) kian gemuk bongsor dan nyaris menyentuh langit. Semua angin musim (Angin Musim adalah novelnya yang kedua terbit 1985) tidak berdaya mengikis dan membalikkan arahnya. Bahkan racun dan virus pun tidak mampu memasuki kolom demi kolom (Kolom Demi Kolom adalah kumpulan karangannya selama 1971-1985 di majalahTempo terbit 1986) pembuluh darahnya hingga membuatnya pucatpasi. Tidak ada yang bisa membuatnya lemah, lengah apalagi pongah.

Duta Rakyat Kecil

Tahun 1950-an, beberapa nama penulis Betawi, khususnya penulis sastra bermunculan. Antara lain SM Ardan dan Frman Muntaco. Kemunculan mereka lantaran beberapa koran di Jakarta menyediakan ruangan khusus untuk sketsa kehidupan di Jakarta. Dalam koran Berita Minggu, Firman Muntaco, mengisi ruangan tetap yang mula-mula bernama “Cermin Jakarta” dan kemudian diubah menjadi “Gambang Jakarta”.

Dalam cerita-ceritanya, Firman merekan kesulitan-kesulitan hidup orang kecil secara utuh bersahaja. Seolah tipa permasalahan yang dihadapi tokoh rekaannya dapat dirasakan oleh pembaca. Karena apa yang diungkapkan bukan hal yang asing bagi masyarakat kecil, terutama masyarakat Betawi. Dalam hal ini Firman dapat dikatakan duta rakyat kecil.

Kecenderungan Firman menampilkan kehidupan rakyat kecil ini, karena kesederhanaan, kepolosan, dan kejujuran mereka, yang sering “mencelakan” diri sendiri. Kekhasan masyarakat Betawi inilah yang memberikan ilham tak terbatas. Firman pernah mengatakan, bahwa pergaulan di kalangan rakyat bawah  lebih bebas, lebih spontan, lugu, polos, kendati getir. Karya Firman sebagain besar bersifat hiburan atau hanya catatan kecil dari peristiwa dengan mempergunakan dialek Betawi.

Sebelumnya, Ardan telah dengan sadar memadukan dialek Betawi dalam cerita pendeknya; namun, dialek itu terutama dipergunakan dalam cakapan. Bagian-bagian naratif dan deskriptif dalam cerpen-cerpennya umumnya masih mempergunakan bahasa yang lebih baku. Penggunaan dialek Betawi dalam kisah-kisah Firman tidak terhenti pada cakapan saja. Dalam kisah-kisah itu, Firman sepenuhnya mempergunakan dialek Betawi.

Usaha Firman menulis dengan bahasa Betawi diikuti oleh penulis Betawi lainnya, Ramlan dan Zaidin Wahab. Namun kedua nama terakhir ini lebih tertarik menekuni cerita silat, ketimbang sketsa. Tak pelak, Firman menjadi acuan bagi karya singkat berbentuk sketsa. Sebelumnya, tak ada satu pun yang tertarik pada jenis sketsa.

Pengabisannya

Menurut Mahbub Djunaidi, dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 8 April 1974, sastra itu bisa membikin yang kurang indah menjadi indah, tidak ekslusif, dan tidak berbelat-belit. Sastra bisa lebih jujur, apalagi memang berniat begitu, untuk menyatakan isi hati. Dia bisa lebih bebas, bahkan kadang-kadang boleh bebas dari tata bahasa. Tapi, ini sama sekali tidak boleh berarti hasil sastra itu bebas dari tanggung jawab, walaupun penyair atau pengarang itu tidak punya kode tertentu seperti halnya wartawan atau dokter. Sebab, bagaimanapun hasil sastra itu sebuah pendapat pikiran, bukan barang ajaib yang jatuh dari langit. Sastra itu selain mesti indah juga mesti bisa difaham, karena yang tidak bisa difaham pasti tidak indah.

Marilah kita tutup makalah ini dengan mengutip puisi karya Jeffry Alkatiri.

1/
Di sebuah langgar desa, serombongan anak menutup pengajiannya
Dan berteriak: Amien…
Di segala mesjid, sekumpulan umat berjamaah
Menyebut bersamaan: Amien…
 
Di sebuah gereja di Alabama, seorang pendeta kulit hitam
Berteriak lantang: Amien…
Di sebuah gereja di Kolombia, seorang ibu bersujud di hadapan Guadalope
Sambil mendesah: Amien…
Di sebuah sinagoga di New York,
Seorang Rabbi mengakhiri doanya dan menangis: Amien…
Di sebuah gereja di Moskow,
Seorang pendeta Ortodoks mengakhiri misa kudusnya
Dan menggeram: Amien…
Di sebuah gereja di pinggir kota Johannesburg Afrika Selatan,
Seorang ibu gendut berkulit hitam berseru sambil berguncang: Amien…
 
Di segala pantai, seorang nelayan mengakhiri pendaratannya
Dan menyebut: Amien…
Di segala pemakaman, entah siapa menutup doa mereka
Dan mengucap: Amien…
 

2/
Berapa banyak kata yang dapat kau hamburkan?
Niscaya tidak akan cukup sebelum menyebut – sepatah kata:
Penutup segalanya.

 

—————————————————————————————————————-

Betawi Menulis Betawi semoga tulisan ini dapat menginspirasi baagi kita semua, selain tulisan Betawi Menulis Betawi ini masih tersedia pada titus ini simak dan sering-sering untuk mengunjungi situs ini.

Exit mobile version