Site icon kebudayaanbetawi.com

Entong Gendut Kisah Sang Pahlawan Condet

Entong Gendut

Entong Gendut (Ilustrasi)/Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id

kebudayaan betawi – Entong Gendut Kisah Sang Jago Dari Condet. Tapi, Condet dalam sejarah tercatat sebagai tempat perlawanan rakyat menentang pemerintah kolonial Belanda (1916). Tokoh penggeraknya adalah H Entong Gendut. Kita tidak tahu apakah putra kelahiran Condet ini berbadan gendut, hingga memakai embel-embel demikian di depan namanya. Tapi, keberaniannya dalam melawan penguasa kolonial patut diacungi jempol. Sejarawan tersohor Sartono Kartodirdjo dalam buku Protest Movements in Rural Jawa menceritakan kisah ini.

Untuk itu, sebaiknya kita kembali dulu pada keadaan ratusan tahun sebelumnya. Di ujung Jl Condet Raya terdapat sebuah gedung tua yang kini tinggal kerangka di bagian depannya karena terbakar pada 1985. Gedung yang terletak di Jl Tanjung Timur (Tanjung Oost) yang kala itu dinamakan gedung Grooneveld merupakan rumah tuan tanah terbesar yang pernah dibangun di Batavia (1756) yang letaknya jauh di luar kota. Waktu itu, untuk mencapai gedung megah ini diperlukan lima jam dari pusat kota (Pasar Ikan) dengan kereta kuda. Adanya gedung ini menjadikan kawasan tersebut hingga sekarang dinamakan Kampung Gedung.

Entong Gendut Kisah Sang Pahlawan Condet. Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.

Entong Gendut Kisah Sang Pahlawan Condet. Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten.

Gedung yang juga dikenal dengan Vila Nova itu telah beberapa kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan dalam Condet Cagar Budaya Betawi tiap penggantian tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet kelewat getol dalam membikin perkara. Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dijual, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.

Melihat penderitaan rakyat yang demikian itulah, Entong Gendut meradang. Ia kumpulkan sejumlah warga Condet. Panji perang dikibarkan. Dengan meneriakkan Allahu Akbar, Entong Gendut mengobarkan semangat jihad fi sabililah. Saat itulah, pada 5 April 1916 perang berkobar di Vila Nova yang ditempati Lady Lollinson dan para centengnya. Entong Gendut bersama para pemuda Condet, bersamaan dengan pertunjukan Tari Topeng menyerbu tempat itu.

Allahu Akbar ….. Sabililah ….. gue enggak takut ame kompeni”, teriak Entong Gendut dan kawan-kawannya. Namun setelah datang bantuan dari Batavia, pemberontakan itu ditumpas. Haji Entong Gendut pun syahid tertemnbus timah panas.

[Rudyalbdr]

 

Sumber Bacaan : condet-betawi.blogspot.com

Exit mobile version