Oleh : Tim Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi
LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 4) – Salah satu buah karya Muhammad Bakir yang sudah ditransliterasi dengan mengambil setting wayang, yang ditulis antara tahun 1884-1906, menghasilkan tidak kurang 14 manuskrip hikayat bertema wayang. Lakon Prabu Sapu Jagat yang diturunkan di website LKB ini salah satu dari itu. Manuskrip ini hasil transkrip dari buku Wayang Kulit Betawi terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Selamat menikmati Lakon Prabu Sapu Jagat berseri dari bagian pertama sampai bagian ke sebelas sebagai berikut:
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 1)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 2)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 3)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 4)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 5)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 6)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 8)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 9)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 10)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian Tamat)
LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 4).cincin yang Sekali lagi Dorna dan kawan-kawan memukuli Garubug dan kedua Setelah puas barulah mereka pergi. Tinggalah anak-anak Semar yang adiknya. babak-belur.
“Waduuh, hancur rasa badanku kang,” rintih Gareng.
“Haduuh, badanku serasa remuk kang,” rintih Gareng.
“Sudahlah Reng,” sahut Garubug. “Ini tak seberapa dibanding dengan hadiah yang bakal kita terima nanti.”
Keempat punakawan itu kembali meneruskan perjalanan. Tiba-tiba, seekor kabi hutan sebesar kerbau muncul dari semak-semak. Terperanjatlah para punakawan itu.
“Lari kang lari!” teriak Petruk. “Cepat Reng.”
Ketiga anak Semar itu pontang-panting. Gareng yang lamban tertinggal
Sial baginya, kakinya yang kudisan membuatnya terjatuh.
“Tolooong, kang tolong!” Gareng berteriak-teriak.
Babi itu menggigit kaki si Gareng dan menyeretnya. la meronta-ronta sambil berteriak-teriak. Cepat Petruk menarik tangan Gareng. Garubug menarik akor babi hutan itu.
Terjadi tarik-menarik. Si Gareng berteriak-teriak kesakitan. Ekor babi itu memanjang karena ditarik si Garubug.
Gigitan babi lepas, Si Gareng terseret oleh Petruk yang menariknya. Cepat Garubug menetak ekor babi itu dengan goloknya. Ekor babi putus, terdengar aungan keras.
Ketiga anak Semar itu terperanjat. Tubuh babi itu hilang dalam kabut asap. Saat kabut asap menipis, para punakawan itu makin kaget. Tubuh babi itu erganti dengan bangkai Butha Widara.
“Walah, rupanya celeng ini jelmaan butha!” seru Garubug takjub.
“Kang, cincin di jari kakiku ditelan butha ini,” ujar Gareng.
“Kalau begitu kita harus membelah perut butha ini.”
Ketika perut Butha Boga Widara dibelah, para punakawan itu menemukan banyak sekali cincin di dalamnya. Rupanya ia telah merampas banyak cincin dari orang-orang yang lewat. Petruk segera mengambil cincin Batara Narada dan meneymbunyikannya. Sedang cincin lainya dimasukan ke dalan kopiah si Gareng.
Kembali anak-anak Semar itu meneruskan perjalanan. Setiap kali mereka bertemu denganraja atau satria yang mencegat dan minta cincin, mereka memberi sata cincin dari kopiah si Gareng. Banyak juga raja dan satria yang mencegat, semuanya kena tertipu.
Akhirnya sampailah para punakawan itu depan gerbang Suralaya. Ternyata di sana sudah banyak raja-raja dan para satria yang datang. Mereka hendak menyerahkan cincin Batara Narada. Di antara mereka tampak Dorna dan keempat pengikutnya. Bahkan Raden Samba dari Jenggala pun ada juga.
Satu per satu mereka menunjukkan cincin pada Batara Narada. Dari sekian banyak raja dan satria, termasuk Doma dan Raden Samba, tak ada yang memiliki cincin yang sesungguhnya. Dorna yang sangat malu dan marah segera pulang.
Tibalah giliran anak-anak Semar. Suka hati Batara Narada melihat mereka. Para punakawan itu bersimpuh dan menyembah. “Walah-walah, anak-anak Ki Semar,” ujar Batara Narada. “Mari kemari,aku sudah rindu pada kalian.”
Terima kasih pukulun,” sembah ketiganya. “Kami datang untuk mengembalikan sarung jari pukulun.”
“Ho.ho..ho, anak-anak Ki Semar, kalian memang anak baik.”
“Ini sarung jari pukulun,” sembah Petruk. “Mohon diterima.” (Bersambung)