Site icon kebudayaanbetawi.com

LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7)

LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7)

Oleh : Tim Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi

 

LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7) – Salah satu buah karya Muhammad Bakir yang sudah ditransliterasi dengan mengambil setting wayang, yang ditulis antara tahun 1884-1906, menghasilkan tidak kurang 14 manuskrip hikayat bertema wayang. Lakon Prabu Sapu Jagat yang diturunkan di website LKB ini salah satu dari itu. Manuskrip ini hasil transkrip dari buku Wayang Kulit Betawi terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Selamat menikmati Lakon Prabu Sapu Jagat berseri dari bagian pertama sampai bagian ke sebelas sebagai berikut:

  1. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 1)
  2. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 2)
  3. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 3)
  4. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 4)
  5. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 5)
  6. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 6)
  7. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7)
  8. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 8)
  9. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 9)
  10. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 10)
  11. LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian Tamat)

Kini Ki Semar yang telah menjadi Marga Winangnong duduk bersemedi di tepi kolam itu. Ia tahu, anak-anaknya akan datang ke sana.

Sementara itu, Raden Samba dan ketiga punakawan tiba di Amartapura. Melihat kedatangan mereka, Angkawijaya segera menyongsong. Wajahnya gugup.

“Kakang, lekaslah kalian pergi semua,” ujar Angkawijaya pada para punakawan. “Ayahanda murka besar pada kalian.” “Mengapa den,” sahut Petruk. “Apakah ada lagi dayang-dayang yang mengadu kami intip saat sedang mandi?”

“Kali ini lebih gawat lagi kang. Pandita Dorna mengadukan perbuatan kalian, ia minta kalian dipancung.”

Seketika lemaslah para punakawan itu. Raden Samba segera pergi, ia khawatir dirinya akan terbawa-bawa. Angkawijaya hanya bisa menatap prihatin.

“Yah, apa mau dikata den,” sahut Garubug lesu. “Kami lari pun percuma.

Pangeran Arjuna begitu sakti, kemana pun kami lari pasti terkejarnya.”

Maka pergilah ketiga punakawan itu menghadap Arjuna. Ketiganya

berdatang sembah. Namun Arjuna tak menghiraukannya.

“Hei anak-anak Semar,” sabda Arjuna. “Baguslah kalian datang. Aku harus segera memancung kepala kalian.”

Arjuna menyeret ketiga punakawannya. Garubug dan Petruk berusaha untuk  tabah. Namun Gareng terus memanggil bapaknya. Garubug tak tega melihat adiknya.

“Sebelum kami mati,” sembah Garubug. “Izinkanlah kemi bertemu bapak kami untuk terakhir kalinya.”

“Baiklah,” sahut Arjuna. “Kalian kuberi tempo tiga hari. Namun jangan coba-coba lari.”

Garubug dan kedua adiknya menyembah, lalu ketiganya mohon diri. Mereka berjalan kian kemari mencari-cari bapakriya. Namun karena tak tahu arah. tersesatlah ketiganya.

Di hutan belantara, anak-anak Semar berputar-putar dengan putus asa. Akhirnya tibalah mereka di tepi sebuah kolam.

“Lihat kang ada kolam,” seru Petruk. “Mari kita minum dan mandi di sini.”

“Tunggu,” sahut Gareng. “Lihat itu, ada yang menungguinya.”

Garubug dan kedua adiknya segera menghampiri penunggu itu. Mereka

sama sekali tak tahu, dia itu tak lain dari bapak mereka sendiri.

“Hei ki cantrik,” sapa Garubug. “Bolehkah kami mandi di kolam ini?”

“Tentu saja boleh,” sahut ki cantrik.

Meloncatlah Petruk ke kolam. “Aku ingin jadi orang kaya yang sakti dan berpangkat tinggi,” teriaknya.

“Aku ingin jadi orang besar.” Teriak Garubug tak mau kalah.

“Aku, eh..anu..” Gareng kebingungan. “..mau..jadi..anu, tampan.”

Ketiga punakawan itu mandi bersuka ria. Mereka saling bersembur semburan dan berenang-renang. Ketiganya nampak mirip sekawanan berang berang.

Saat Garubug keluar dari air, wujudnya telah berubah. Ia kini menyerupai seorang raja. Sedang Petruk menyerupai seorang punggawa. Dan Gareng manjadi sangat tampan.

Marga Winangnong mengganti nama Garubug menjadi Prabu Sapu Jagat. Petruk menjadi Patih Anggalaya. Sedangkan Gareng menjadi Guriang Nala. (Bersambung)

Exit mobile version