Maharaja Garebeg Jagat – Tersebutlah seorang Penyalin dan Pengarang Sastra Melayu di Tanah Betawi pada abad 19. tinggal di Pecenongan, gang Langgar, Betawi. Ia adalah Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, yang lazim disingkat Muhammad Bakir. Beliau orang Betawi. Ayahnya dikenal dengan nama Syafian yang mempunyai nama kecil Cit. Ia adalah seorang pengarang juga. Dalam naskah-naskah, nama tersebut kadang dikenal dengan Cit Sapirin bin Usman bin Fadil. Ada keterangan yang menyatakan Muhammad Bakir memiliki anak tertulis dalam kolofon Hikayat Maharaja Garebeg Jagat. Mari kita baca Lakon Maharaja Garebeg Jagat.
Setelah mengerti apa yang sedang terjadi itu, tertawalah ketiga Batara itu. Mereka menyadari, serangan ke Suralaya adalah hukuman karena saat ketiga anak Semar itu dibunuh para Dewa tidak ada yang menolong. Begitu juga dengan nasib yang dialami Arjuna, ia kurang periksa, tergesa-gesa menjatuhkan hukuman tanpa menghiraukan pengabdian para punakwan yang setia itu.
“Baiklah kalau begitu Kakang Batara,” sabda Prabu Krisna, “Cobalah Kakang sembuhkan adikku ini.”
Maka Batara Guru pun memercikan Banyu Kahuripan. Seketika bongkahan batu lenyap, muncullah Arjuna. Seperti orang yang baru terjaga ia mengerjap ngerjapkan mata.
Ketika melihat Prabu Krisna dan kedua Batara itu, maka Arjuna pun menghaturkan sembah. Prabu Krisna lalu menceritakan tentang siapa sesungguhnya Garebeg Jagat. Arjuna mengangguk-angguk paham, ia juga menyadari kekhilafannya pada para punakawannya.
“Nah kini persoalannya apakah Adi Janaka ini tahu kelemahan Semar dan
enak-anaknya?” Tanya Batara Krisna.
“Ya Kakang Prabu,” sahut Arjuna. “Peda bakar. Mereka tak mampu menahan diri kalau mencium bau peda bakar. Dan kalau sudah makan peda itu, maka sekujur tubuh mereka akan gatal, segala penyakit kudis dan korengnya akan kambuh.”
Setelah mendengar penjelasan Arjuna, kedua Batara itu tersenyum. Kemudian Prabu Krisna dan Arjuna serta kedua Batara itu terbang ke Suralaya. Arjuna telah siap untuk mengalahkan Maharaja Garebeg Jagat.
Sang Arjuna dan Krisna serta kedua Batara itu tiba tepat pada waktunya. Tembok gerbang Suralaya tengah digempur. Maharaja Garebeg lagat, patih Nala Anggalaya dan Bupati Nala Guriang Nala mengerahkan segala kesaktiannya. Namun berkat mantera Ki Cantrik tembok itu belum bergeming.
Melihat itu semua, Arjuna turun dan menantang-nantang. Cantrik Marga Semirang menyadari, inilah akhir dari kepongahan anak-anaknya, ia pun segera menyingkir. Garebeg Jagat terkejut melihat kedatangan Arjuna.
“He Kakang Prabu,” seru Nala Anggalia. “Lihat dia datang lagi.”
“Ayo kita hajar beramai-ramai,” seru Maharaja Garebeg Jagat.
Maka menerjanglah mereka bertiga. Arjuna yang sudah mengetahui siapa mereka sesungguhnya, enggan menyakiti ketiga orang itu. Ia hanya meloncat loncat menghindar. Sesekali ia memukul dan menendang, namun tak keras.
Maharaja Garebeg Jagat – Sementara itu, tak jauh dari medan tempur, Prabu Krisna menyalakan api unggun. Lalu dipanggangnya beberapa potong ikan peda. Menebarlah aromanya terbawa angin. Maharaja Garebeg Jagat dan kedua adiknya mulai gelisah. Pukulan dan tendangan mulai tak beraturan.
Harumnya peda bakar kian semerbak. Para prajurit Banjar Negara yang telah berhari-hari perang menjadi lapar. Mereka pun mulai mengeluarkan bekal nasi dan membakar ikan peda. Semerbak peda bakar memenuhi seluruh medan perang.
Maharaja Garebeg Jagat, Pati Nala Anggalaya dan Bupati Guriang Nala kebingungan. Mereka bertiga kalap. Akhirnya tak mampu lagi menahan diri, ketiganya berlari meninggalkan lawan dan merampas peda dan nasi dari para prajurit. Dengan lahap dan kalap ketiga anak Semar itu menggasak ikan peda. Para prajurit Banjar Negara dan raja-raja taklukan yang ikut memandang heran. Sang Arjuna dan Prabu Krisna mengawasi dari kejauhan.
Tak berapa lama kemudian, Nala Guriang Nala mulai menggaruk-garuk. Lalu Nala Anggalaya, kemudian Garebeg Jagat. Lama kelamaan rasa gatal kian menggila. Ketiganya menggaruk-garuk dan berguling-guling. Segala pakaian kebesaran yang mereka kenakan tercabik-cabik. Wujud asli Garubug, Anggalia dan Gareng muncul, tubuh mereka penuh kudis dan koreng yang bernanah karena terus digaruk.
Para raja dan pasukan Banjar Negara terkejut melihatnya. Mereka murka. Hampir saja mereka membunuh ketiga anak Semar itu. Namun Arjuna memanahkan panah Pasopati.
Melesatnya Pasopati menimbulkan angin ribut yang dahsyat. Seluruh bala tentara Banjar Negara tersapu bagai daun kering. Mereka berjumpalitan. Setelah bangkit semuanya lari tunggang langgang. Tinggallah ketiga anak Semar yang sedang meraung-raung karena gatal.
Datanglah Batara Narada membawa sepasu air tambakau, disiramlah ketiga punakawan itu. Mereka menjerit-jerit karena perih. Namun perlahan kudis dan koreng mereka hilang.
“Nah bagaimana sekarang?” Tanya Arjuna. “Masih mau bermain-main?”
“Ampuuuunnn aden, ampuuun,” sembah ketiganya ketakutan. “Sudah kapok kami tak mau lagi.”
Tak berapa lama Ki Cantrik muncul dalam wujud Semar. Ia menghaturkan sembah dan memohon maaf karena kelakuan ketiga anaknya. Arjuna dan Batara Narada pun meminta maaf pada mereka.
“Sekarang ayo kalian pulang semua,” ujar Semar seraya menjewer telinga anak-anaknya.
“Bikin repot orang tua saja.” “Ampun pak ampuuunn, tobaaaat.” (Tamat)