Oleh : Prof. Dr. Muhadjir
SASTRA TULIS MELAYU KLASIK BETAWI – Artikel ini mengungkapkan Sastra Daerah Betawi abad ke-sembilanbelas, sebagai salah satu aspek dari khazanah kebudayaan yang didaerahnya sendiri selama ini seolah-olah terpendam. Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku “Bunga Rampai Sastra Betawi” tebitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta tahun 2002.
Seperti dijelaskan pada artikel sebelumnya bahwa dari akhir abad ke-19 dan selanjutnya, huruf Latin cenderung menggantikan huruf Arab dan banyak orang Cina peranakan yang tidak dapat lagi membaca huruf ArabMelayu. Sebuah contoh yang diberikan oleh Salmon adalah Hikayat Sultan Ibrahim. Edisi Arab-Melayu. Hikayat tersebut sangat populer, tetapi banyak orang Cina harus minta hikayat itu dibacakan karena mereka tidak dapat memahami huruf Arabnya (Salmon, 1985:5). Lalu pada tahun 1891, atas permintaan Tan Teng Kie hikayat tersebut diterbitkan dalam huruf Latin, dan dalam kumpulan buku tersebut diumumkan pula bahwa sebuah cerita lain, yaitu Hikayat Amir Hamzah akan terbit pula dalam huruf Latin supaya “moedah toewan-toewan bangsa Olanda dan Tjina jang koerang faham atas hoeroef Arab itoe toeroet membatja”. Perkembangan percetakan dan meningkatnya pers dalam huruf Latin, tak pelak merupakan sebagian penjelasan mengapa huruf Arab-Melayu mengalami kemunduran (Salmon, 1985:5-6).
Adat membacakan naskah dihadapan orang, tampak juga hingga sekarang. Naskah-naskah kegamaan. Hikayat Abdulkadir Jailani dibacakan pada waktu nadaran di Bogor (Hamidi 1991) dan Muhammad Bakir menyebutkan dalam bagian pengantar naskah yang ditulisnya Hikayat Abdul kadir Jailani dikatakannya sebagai berikut:
“ … dan jikalau aku/ bukan ahli sekalipun karena tuntut keridhaan Allah/ wa ta’alaa dan supaya memudahkan orang yang membacanya nadhar/ jua adanya … “
Ucapan Muhammad Bakir itu menunjukkan bahwa naskah Abdulkadir Jailani juga dibacakan dalam kesempatan orang melangsungkan nadar di Jakarta. Upacara nadaran dengan bacaan hikayat semacam itu, masih berlangsung hingga sekarang.
Dua orang informan dari penduduk asli Betawi, menyebutkan bahwa Hikayat Muhammad Syaman, juga dibacakan pada waktu nadaran di dua tempat, di wilayah kampung Melayu dan di Cakung (Bekasi). Penduduk asli di bilangan Condet mengatakan bahwa ia bahkan mengenal seorang ustad yang hafal naskah Muhammad Syaman.
Pembacaan naskah itulah yang mungkin berlanjut dengan munculnya seni pertunjukan yang disebut Sahibul Hikayat, yang hingga saat ini masih dilangsungkan dalam masyarakat Betawi. Seorang ‘dalang’ atau pelaku Sahibul Hikayat yang hingga kini masih aktif menjalankan fungsinya, menceritakan bahwa almarhum ayahnya, yang juga pemain Sahibul Hikayat, diketahuinya sering meminjam buku ke perpustakaan museum Jakarta. (Muhadjir 2002). (Bersambung)