CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mai kita menyambut buan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Salamat puasa. Raih predikat takwa.
MATUNG, MOKO, ANDILAN
Waktu kecil, tugas saye selaen sekolah, ngaji, bantuin nyawah, dan ngebon (bertani), juga ngangon (kambing kadang kebo) dan ngarit (mencari rumput untuk makanan kambing). Meski begitu, porsi terbesarnya adalah maen. Maen di sini pengertiannya bukan sekadar bermain secara harfiah, tetapi maen yang bermuatan mencari tahu dan mengasah keterampilan. Saya kira, dalam perspektif saya, ngangon pun dapat diartikan sebagai maen.
Dulu saya pernah sekali dua kali ikut ngangon kebo (kerbau) andilan. saya masih ingat beberapa kawan sebaya ikut ngangon kebo andilan, antara lain : Romlih, Gepeng, Sehur, dan lain-lain. Di beberapa tempat andilan sering disebut matung dan moko. Matung di sini sebenarnya adalah patungan, yaitu bersama-sama mengumpulkan uang untuk tujuan dan maksud membeli sesuatu. Karena patungan untuk membeli kerbau, maka disebut matung kebo. Sementara moko atau mokoin asal katanya pokok. Kata pokok ini artinya modal. Maka moko atau mokoin berarti memberi modal kepada seseorang atau memberi dana talangan.
Andilan adalah tradisi urun-rembuk atau gotong-royong warga kampung mengumpulkan uang untuk membeli sesuatu. Kegiatan ini dilakukan turun-temurun. Artinya tidak ada catatan yang pasti dan sahih kapankah andilan ini dilakukan oleh masyarakat Betawi. Apabila menyimak dari katanya, andilan berasal dari bahasa Belanda, yaitu aandeel, yang artinya saham atau ambil bagian atau berpatisipasi. Maka berdasarkan kata itu, andilan dikenal pada masa kolonial atau penjajahan Belanda.
Dalam masyarakat Betawi, andilan maksudnya adalah andilan kebo yaitu usaha urun-rembuk atau gotong-royong warga kampung mengumpulkan uang untuk membeli beberapa ekor kebo (kerbau). Kebo yang dibeli dengan uang andilan disebut kebo andilan. Jumlah kebo yang dibeli tergantung dari jumlah peserta andilan.
Tujuan andilan memberikan kemudahan kepada warga memperoleh daging segar untuk memeriahkan lebaran. Dua hari menjelang lebaran kebo ini dipotong dan dagingnya dibagikan sama besar kepada anggota andilan. Orang Betawi lebih memilih daging kebo ketimbang daging sapi. Mungkin karena serat daging kebo lebih kasar, sehingga untuk beberapa olahan, seperti dendeng, lebih dapat bertahan lama.
Minimal tiga bulan menjelang bulan puasa, bebongkot (tetua kampung, tokoh masyarakat atau orang yang dipercaya dan kompeten), sudah mewartakan dan mengundang pertemuan formal. Surat pun diedarkan kepada seluruh masyarakat kampung bahwa akan diadakan andilan. Saya masih ingat, dulu bebongkot, mempercayakan pengelolaan andilan kepada Bang Atam (Abdul Hatam) dan Bang Tab (Tabronih). Dalam pertemuan informal maupun formal, rencana andilan pun sudah diumumkan. Dalam pengumuman itu, disebutkan batas akhir pendaftaran dan biayanya. Peminat mendaftarkan diri kepada kordinator. Atau kordinator berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan keikusertaaan warga untuk andilan.
Setelah jangka waktu pendaftaran ditutup, diketahui jumlah peserta andilan. Biasanya sebuah keluarga besar, akan mendaftarkan namanya dua atau bahkan lebih. Atas dasar jumlah itu dihitung berapa ekor kebo yang dibutuhkan untuk dapat mencukupi keseluruhan anggota.Biasanya seekor kebo untuk 15 sampai 20 orang. Apabila jumlah peserta andilan 80 orang, maka jumlah kebo yang harus dibeli dan dipelihara sebanyak empat ekor. Sementara itu cara pembayaran dengan mencicil atau kontan. Jika dicicil, ditentukan mingguan atau harian dan tidak memberatkan peserta andilan. Tetua kampung yang mengkoordinir andilan tentunya sudah memperhitungkan jika banyak peserta yang mencicil. Oleh sebab itu ia telah mempersiapkan dana kontan untuk membeli kebo.
Ukuran berat daging yang didapat peserta andilan relatif, tergantung beratnya kebo yang bersangkutan. Biasanya tiap pendaftar dapat satu tanding. Kalau mendaftar dua, tentu saja mendapat dua tanding. Tanding artinya ukuran pembagian daging. Satu kebo dibagi rata kepada seluruh anggota andilan, lengkap mendapat seluruh bagian kebo. Porsi terbesar tentu saja dagingnya, barulah kemudian isi perut, tulang-belulang dan kulit.
Jika semua telah jelas dan sepakat, maka bebongkot atau tetua kampungakan pergi mencari dan membeli kebo. Tentu saja dia pandai dan memahami jenis kebo yang sehat. Kebo–kebo itu dibeli dan dibawa pulang dan dipelihara oleh tukang piara.
Tukang piara adalah orang yang profesinya memelihara ternak atau memang pekerjaan sehari-harinya peternak. Dialah yang bertugas merawat kebo sebaik-baiknya sehingga menjadi gemuk dan sehat. Bertanggung jawab penuh atas kebo yang dipeliharanya, mulai ngangon (menggembala), merawat kesehatan sampai menjaga keamanannya. Untuk semua tugas dan tanggung jawabnya, tukang piara mendapat imbalan uang dan bagian tertentu dari kebo yang nanti dipotong, sebagai tanda terima kasih. Tugas tukang piara berakhir pada hari pemotongan, biasanya dua hari atau sehari menjelang lebaran.
Di hari pemotongan, orang atau petugas yang bertanggung jawab adalah tukang potong. Tukang potong mengatur dan menjelaskan tugas kepada semua anak buahnya atau orang-orang yang datang sekadar membantu. Dia menjelaskan bagaimana memeperlakukan kebo ketika digiring dan diikat untuk disembelih. Seyogyanya tidak ada unsur menyakiti kebo. Tukang potong yang sudah mahir tentu memiliki kiat bagaimana menggorok leher kebo dengan sekali gerakan saja. Selain golok yang digunakan memiliki ketajaman luar biasa, ia pun membaca doa-doa khusus untuk memotong hewan. Salah satu bacaannya adalah “Bismillahi allahu akbar (3X). Bismillahi la haula walaa quwwata illa billahil aliyyil adzim”. Sambil membaca doa itu dan menyiram kebo dengan air kembang tujuh rupa, tangannya bergerak tangkas menggorok leher kebo. Singkat saja dan kebo sudah tak bernyawa.
Setelah kebo dipotong langsung dibawa ke tempat untuk diseset atau dikuliti. Seset atau nyeset atau menguliti kebo jangan sampai kulitnya tergores sampai bolong. Itu tandanya kurang mahir. Sebab kulit yang utuh, jika dijual kemungkinan harganya jauh lebih mahal ketimbang yang sobek. Setelah nyeset selesai, kebo bedah dan masing-masing bagian tubuhnya dipisahkan sesuai jenis. Daging dikumpulkan dengan daging. Isi perut dikumpulkan sesamanya. Tulang-belulang pun dikumpulkan menjadi satu.
Seluruh daging, isi perut, tulang-belulang, dan kulit dipecah atau dibagi sama beratnya menjadi 20 tanding. Karena satu kebo umumnya untuk 20 peserta andilan. Sementara kepala dan kaki biasanya menjadi jatah tukang potong. Tukang piara akan memperoleh daging yang terdapat di leher, kulit dan tulang kaki. Tapi jika tukang potong dan tukang piara sudah menerima upah berupa uang, maka tak lagi memperoleh pembagian daging.
Andilan hingga kini masih efektif, meski hanya di kampung-kampung tertentu, kampung yang penduduk Betawi masih besar dominan. Bahkan andilan menginspirasi masyarakat untuk menyelenggarakan arisan kebutuhan lebaran, seperti kue, beras, dan lain sebagainya. Memang, andilan menumbuhkan sifat dan sikap positif bagi masyarakat Betawi. Ia terbukti mempererat tali silaturrahim antarwarga, memperkuat persaudaraan, dan memberi kemudahan kepada warga.
Matung, moko, andilan? Itulah lebaran. Inget andilan, ingit semur kebo, inget dendeng kebo. Apa ente inget juga…? (Yahya Andi Saputra).