CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Salamat puasa. Raih predikat takwa.
NGAPUR DAN BERSIIN SABANG
Kesibukan lain yang tidak kalah penting pada bulan puasa adalah ngapur. Mengapa ngapur? Ngapur bertujuan memperindah rumah untuk menyambut lebaran. Pada umumnya dahulu rumah orang Betawi di kampung setengah bata setengah kayu (dari kayu jinjing/lamtoro), seluruhnya kayu atau setengah kayu setengah pagar bilik dari bambu. Kalau rumah-rumah Betawi di kota sudah tembok semua dan kalau dari kayu pasti kayu yang berkualitas (meranti, jati atau kayu-kayu yang ditanam di kebun seperti nangka, kecapi, rambutan, dan sebagainya). Adakalanya dinding yang terbuat dari bambu (bilik) ditutupi dengan kertas koran atau kertas bekas bungkus semen. Oleh karena itu harus dikapur supaya terlihat lebih indah dan bersih.
Ngapur asal katanya kapur. Kata benda yang artinya bahan serbuk berwarna putih. Bagi masyarakat tradisional, kapur dipakai untuk campuran makan sirih dan pemutih dinding. Kata dasar ini berproses karena imbuhan (prefiks dan sufiks) menjadi mengapur, perkapuran, dan pengapuran. Mengapur kata kerja yang artinya membalur atau melabur atau mengecat didnding dengan kapur agar menjadi putih. Perkapuran tempat membakar kapur. Pengapuran berarti proses terjadinya kropos atau lapuk pada tulang (dalam ilmu pertulangan disebut osteoporosis). Di kawasan Jabodetabek paling tidak ada dua lokasi jalan yang memakai nama Pekapuran, yaitu di Sukatani, Tapos, Depok dan di Kelurahan Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat. Dugaan saya, pada kedua tempat itu dahulu pernah ada pabrik pengolahan kapur.
Dalam bahasa Betawi kata benda atau kata dasar kapur mendapat awalan nga dan menjadi kata kerja ngapur. Ngapur artinya bekerja mengapur atau membaluri dinding rumah dengan bahan kapur agar menjadi putih. Ngapur dapat dikerjakan swadaya atau meminta jasa tukang ngapur.
Dahulu di sekitar kampung Gandaria Selatan dan Terogong ada beberapa toko material (bahan bangunan) yang menjual kapur. Ada toko milik Haji Apas, milik Haji Ahmad, milik Haji Muhtar, milik Haji Lihun. Sebagai toko bahan bangunan, toko-toko itu menjual aneka kebutuhan untuk bangunan. Salah satunya kapur, bahan untuk ngapur. Belanja di toko-toko milik orang Betawi itu penuh pengetian, persaudaraan, dan tidak dibuat ribet. Sebabnya bagi yang belum mempunyai uang kontan, dapat ngambil dulu alias ngebon atau ngutang. Hihihihi… demi rumah ngejreng, berutang pinjem dilakonin (hanya ingin memiliki rumah lebih cerah, berhutang atau meminjam dilakukan).
Tetapi sebenarnya pekerjaan ngapur didahului dengan membersihkan sabang atau sawang. Sawang adalah sarang gonggo atau laba-laba yang menempel pada bagian-bagian rumah, khususnya di langit-langit sehingga terlihat kusam. Ada gonggo lain yang tubuhnya lebih besar dan hitam tetapi biasanya nyarang (bersarang) di tananh atau pohon, namanya katel. Jarang katel nyarang di langit-langit.
Sabang yang menempel di dapur terkadang berubah warna menjadi hitam karena bersentuhan dengan asap dapur ketika memasak. Sebelum mengenal listrik dan kompor gas, tungku atau anglo berbahan kayu bakar biasa dipakai memasak. Asap dari anglo itu menyebar ke seluruh dapur. Orang-orang dulu biasa juga memakai sawang untuk antibiotik. Jika kebelèr (tersayat olad/kulit bambu), keiris, kepotong, kena beling, dan luka lainnya, maka dipopol (ditutup) dengan sawang. Bengkong (tukang sunat) pun menggunakan sabang untuk mopol seorang anak yang baru disunat.
Setelah kapur tersedia maka kapur itu dimasak atau direbus terlebih dahulu supaya encer. Kapur itu kan hasil pembakaran sehingga mengeras mirip seperti batu apung. Jika tidak dimasak dan diencerkan tidak dapat digunakan. Alat untuk ngapur tidak menggunakan kuas untuk mengecat seperti biasa, tetapi dibuat dari bahan tanaman alang-alang yang disusun dan diikat menyerupai kuas. Seraya merebus kapur agar encer, maka kami pergi ke kebun atau tegalan yang ditumbuhi alang-alang dan mencabuti alang-alang itu untuk bahan kuas. Setelah semua kebutuhan ngapur tersedia, mulailah pekerjaan ngapur. Seminggu kemudian, rumah yang semula kusam sudah kinclong menawan hati. Penghuninya girang.
Dahulu, gejogan (lantai) rumah-rumah di kampung biasanya belum memakai tegel atau ubin. Paling-paling dipelur (diratakan dengan adukan pasir semen). Menjelang lebaran, lantai tanah itu dibasahi dan dipolès. Dipolès atau molès meratakan lantai tanah dengan membasahinya dan membuatnya halus. Setelah itu diaurin (ditebarkan) tai gergajian (serbuk hasil penggergajian kayu). Gejogan seperti ini sangatlah sejuk. Adem tiada banding. Apalagi jika kita selèlègan (tiduran) di gejogan ini pada siang hari waktu puasa, aduuuhhh enggak kuaaattt…
Adakah ente ngalamin ngapur, bersiin sabang, dan molès gejogan…? (Yahya Andi Saputra)