Diceritakan kembali Oleh Rudy Haryanto
Naskah disampaikan untuk mengikuti
Sayembara Penulisan Cerita Rakyat
Pada Bulan Bahasa dan Sastra 2004
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Betawi pada abad ke-17. Menurut cerita, hiduplah seorang gadis yang bernama Jenab. Ia berumur 20 tahun. Tinggi semampai dan parasnya amat cantik. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di sebuah rumah yang besar dan indah. Rumah itu warisan ayahnya.. Di masa hidupnya, ayah Jenab kaya raya dan terpandang di kampungnya. Kedua orang tuanya amat menyayangi Jenab sebagai anak semata wayang.
Setelah ayahnya meninggal karena sakit, Jenab diurus ibunya dengan baik, sehingga tumbuh dewasa sebagai gadis cantik. Kecantikannya itu terkenal di seluruh kampung di Betawi. Boleh dikatakan tak ada kekurangannya kecantikan Jenab itu, sehingga seluruh pemuda tergila-gila padanya. Sayang di balik kecantikannya itu Jenab mempunyai sifat tercela. Ia angkuh. Karena itu banyak pemuda yang akhirnya kecewa terhadap Jenab.
Meskipun demikian, ada juga pemuda yang tertarik kepada Jenab. Hal itu menyebabkan keangkuhan Jenab menjadi-jadi. Sifatnya dari hari ke hari menjadi makin kasar. Melihat tingkah laku Jenab yang kasar, ibunya bersedih hati.
Pada suatu hari berkatalah ibunya kepada Jenab,
“Jenab, ibu sudah tua, ingin sekali bermenantu. Tapi kulihat, engkau terlalu angkuh dan sombong, sehingga banyak pemuda yang menghindar darimu. Jenab, apakah engkau ingin menjadi tua tanpa suami yang mendampingimu? Rubahlah perangaimu, nak.”
Jenab termenung, lalu berkata,
“Coba ibu katakan, siapa gerangan pemuda yang ingin melamarku, nanti Jenab jelaskan mengapa Jenab tidak mau kepadanya.”
Ibunya berpikir sejenak, lalu berkata lagi,
“Lamaran si Ayub dulu mengapa kau tolak? Padahal ia berasal dari keluarga baik-baik dan terpandang.”
“Oh, si Ayub yang bogel itu? Maaf, Bu, aku tak tertarik padanya. Dia bukan tipe ideal saya.”
Ibunya sangat terpukul dengan jawaban Jenab.
“Baiklah, nak, itu alasanmu menolak si Ayub. Tapi bagaimana dengan Mat Bongkar yang tubuhnya tinggi dan tegap, bukankah kau tolak juga?” Kata ibunya dengan suara tinggi.
“Mat Bongkar, Bu? Lihat hidungnya, hidungnya pesek, lagi pula ia miskin. Buat apa bersuami dengan orang miskin. Ih, najis!”
“Jenab, kalau begitu, terserah kepadamulah, ibu tak ingin turut campur lagi.” Ibunya bangkit amarahnya. Ibunya kemudian berlalu dengan hati yang kecewa meninggalkan Jenab.
Percakapan dengan ibunya itu tidak mengubah perangai Jenab, ia tetap sombong.
Pada suatu hari, lewatlah seorang pemuda bernama Roing di depan rumah Jenab. Jenab asyik menyapu beranda rumahnya, sehingga tak terterlihat olehnya si Roing itu. Tiba-tiba beberapa lembar kertas yang disapunya melayang dan jatuh di kaki si Roing. Pemuda itu menoleh ke arah dari mana datangnya sampah. Roing terkejut bukan kepalang melihat gadis cantik sedang menyapu. Roing tersenyum, Jenab malah membuang muka. Roing berusaha tersenyum lagi.
“Mohon maaf, bolehkah aku mengenalmu?” Kata Roing. Jenab tak bergeming.
“Atau bolehkan aku membantu membersihkan rumahmu?” Kata Roing lagi.
“Hai orang asing, kau sungguh kurang ajar dan tak tahu kesopanan, beraninya kau menyapa gadis yang belum kau kenal.” Jenab menjawab dengan tegas dan anggkuh.
Dengan kecewa Roing berlalu dari depan rumah Jenab. Ia berusaha melupakan peristiwa itu, tetapi hatinya yang sakit susah diobati. Dari hari ke hari Roing merasakan sakit hatinya dihina Jenab. Akhirnya ia berdoa kepada Tuhan agar beroleh jalan untuk mengatasi perasaannya itu. Setelah berdoa dan sembahyang, Roing tertidur. Dalam tidur ia bermimpi kedatangan seorang lelaki tua bersorban dan berjanggut putih seraya berkata padanya,
“Janganlah kau bersedih hati anakku. Jenab itu bukan jodohmu. Suatu hari kelak ia akan mendapat balasan Tuhan atas kesombongannya itu.” Setelah berkata begitu lelaki tua bersorban dan berjanggut putih itu pun menghilang. Roing terbangun dari tidur dan sadar bahwa ia telah bermimpi. Tapi benarkah mimpinya itu, pikir Roing dalam hati.
*****
Syahdan, di kampung itu hidup seorang perampok. Perampok yang bernama Kaimun itu ingin menuntut ilmu hitam, yaitu ilmu kejahatan di sebuah gunung yang angker. Caranya dengan bertapa di gua pegunungan tersebut. Bila sampai waktunya, maka jin Afrit penguasa gunung akan muncul dan menurunkan ilmu hitamnya kepada si pertapa. Tapi sebagai imbalannya, si pertapa mesti menjalankan syarat yang ditentukan jin Afrit dan menuruti kemauannya.
Kaimun pun melakukan tapa. Tepat hari ke-40 dari pertapaan, jin Afrit muncul di hadapan Kaimun.
“Aku paham apa yang kau inginkan, wahai manusia. Tapi apakah kau bersedia menerima persyaratan yang aku tetapkan?” Kata jin Afrit.
“Apa pun yang Tuan Jin tetapkan sebagai syarat, saya akan turuti.” Jawab perampok dengan tegas.
“Baik. Tapi ingat, mulai saat ini kau telah terikat dengan sumpahmu sendiri.”
“Saya tidak akan melanggar sumpah yang telah saya ucapkan.” Maka Kaimun pun menerima ilmu hitam dari jin Afrit. Syarat yang harus dipenuhinya itu ialah tak boleh menikah seumur hidupnya. Jika perampok itu melanggar, maka ia akan menjadi seekor buaya.
Kaimun turun gunung, dan kembali ke kampung. Ia pun mengumpulkan pengikut, lalu menjalankan aksi kejahatan di berbagai kampung. Dalam aksi-aksi perampokannya, Kaimun dan anak buahnya tak segan-segan menghabisi nyawa siapa saja yang melawan. Karena ilmu hitam yang dimiliki itu, perbuatan jahatnya tak diketahui orang siapa pelaku kejahatan sesungguhnya. Maka dengan hasil perbuatannya menjarah harta orang lain, ia pun kaya raya.
Karena kekayaannya, maka Kaimun menjadi orang terpandang di kampung itu. Banyak orang yang memandang harta menginginkan perampok itu menjadi menantunya. Tetapi tidak seorang wanita pun dapat menarik hati si perampok. Sebenarnya hati Kaimun galau, karena ia teringat perjanjiannya dengan jin Afrit. Ia tak boleh menikah. Sering terbersit di pikirannya, apalah arti seorang lelaki jika tak punya istri dan keturunan. Tapi sesering itu pula, pikiran-pikirannya ditekan sedemikian rupa hingga jiwanya stabil kembali.
Pada suatu hari ketika berjalan di depan rumah Jenab, Kaimun bertatap pandang dengan Jenab. Hatinya tertarik, namun Jenab segera masuk ke dalam rumahnya. Ia kemudian singgah di sebuah warung kopi, tak jauh dari rumah Jenab.
“Mpok, siapa gadis cantik yang berdiam di rumah besar dan indah itu?” Tanya Kaimun kepada perempuan pedagang kopi.
“Oh, itu si Jenab. Dia cantik memang, tapi sombong. Tidak mungkin deh ada lelaki yang dapat mengawininya.”
Mendengar keterangan penjaja warung, Kaimun merasa ditantang. Ia bergegas meninggalkan warung. Perjanjiannya dengan jin Afrit dilupakannya demi hawa nafsu ingin mendapatkan Jenab.
Pada suatu hari Kaimun nekad bertandang ke rumah Jenab. Ia diterima ibu si Jenab dengan baik. Maklum ia dikenal sebagai orang kaya raya. Tak ada yang tahu bahwa ia sesungguhnya perampok lanun belaka. Ternyata Jenab mengintip dan mendengarkan semua percakapan sang tamu dengan ibunya itu. diam-diam Jenab tertarik. Perampok mengajukan lamaran, ibu Jenab tidak mejawab melainkan masuk ke dalam rumah memberitahu Jenab. Tak disangka Jenab menerima lamaran perampok ulung itu.
Tidak perlu diceritakan betapa gembiranya Kaimun mendengar lamarannya diterima Jenab. Dialah satu-satunya laki-laki yang mampu meminang Jenab. Ia makin melupakan perjanjiannya dengan jin Afrit.
Persiapan pesta perkawinan pun diadakan. Tenda besar di pasang di depan rumah Jenab. Undangan disebar ke seluruh sanak saudara dan handai taulan. Dan pesta pun berlangsung dengan meriahnya selama tiga hari tiga malam.
Tak lama kemudian Jenab pun hamil. Sembilan bulan kemudian Jenab melahirkan seorang anak lelaki dan diberi nama Maun. Kedua orang tuanya merawat Maun dengan kasih sayang. Maun pun tumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan.
Sehari-hari Maun bermain dengan sesama anak orang kaya juga. Tapi Maun bertabiat buruk. Ia serakah dan suka mengambil barang milik orang lain. Pada suatu malam Maun bermupakat dengan teman-temannya untuk mengambil buah-buahan dari kebun seorang haji, bernama Haji Saiban. Namun Haji Saiban sudah mendengar sejak lama perbuatan Maun yang tidak senonoh. Setiap malam Haji Saiban tidur larut malam menjaga tanaman buah-buahannya. Ia selalu menyelipkan sebilah golok di pinggangnya bila berjalan ronda mengelilingi kebun buahnya.
Tengah malam Maun masuk ke kebun milik Haji Saiban bersama teman-temannya dengan merusak pagar kebun. Haji Saiban bersiap menanti aksi Maun. Ketika Maun mendekat, langsung Haji Saiban menebas Maun dengan goloknya. Maun yang tidak menyangka dirinya akan kena batunya tak dapat menghindar dari sabetan golok Haji Saiban. Tulang pingul Maun patah terkena sabetan goloki. Ia jatuh tersungkur. Teman-temannya segera melarikan Maun. Haji Saiban melihat dari kegelapan anak-anak kurang ajar itu bertolak dari rumahnya sambil memapah Maun.
Jenab amat terkejut melihat anak kandung tersayangnya digotong temannya dalam keadaan mandi darah.
“Apa, apa yang terjadi? Kenapa Maun berdarah-darah begini? Jenab bertanya kepada teman-teman Maun yang mengantarkan. Semua teman Maun menggelengkan kepala.
“Ja … ja… jangan marah, Bu.” Dengan terbata-bata Maun mendustai ibunya tentang na’as yang menimpa dirinya. Ia mengatakan terkena kecelakaan. Ibunya sibuk memanggil orang pandai ataupun dukun yang bisa mengobati luka-luka Maun. Ketika itu Kaimun tidak berada di rumah. Sehingga Jenablah yang mengurus segalanya. Dengan pertolongan seorah tabib, nyawa Maun dapat diselamatkan. Luka-lukanya diobati. Maun dapat disembuhkan, tapi ia cacat.
Paa suatu malam ketika Kaimun sedang tidur bersama isterinya, terdengar suara bergemuruh amat dahsyatnya. Suara itu laksana angin puyuh berputar-putar meluluh-lantakkan rumah dan pepohonan. Tiba-tiba jin Afrit dan pasukannya menjelma di hadapan Kaimun.
“Hei perampok celaka, kau mengenali aku?” Tanya jin Afrit.
“Tentu, tentu saya mengenali Tuan Jin.”
“Bagus! Lihatlah, aku datang bersama setan-setan pegunungan. Engkau ingkar janji. Kau telah berjanji untuk tidak kawin, tapi kau bohong. Sekarang engkau kami hukum. Engkau dan anakmu menjadi buaya, dan harta bendamu akan kembali ke tempat asalnya, ha-ha-ha.”
“Tunggu, tunggu Tuan Jin. Saya akan …” Kata perampok memohon.
“Tidak. Kaulah yang ingkar. Kau harus terima hukuman.”
Jin Afrit dan setan-setan pegunungan meninggalkan Kaimun dan Jenab yang dalam kebingungan.
Selang beberapa saat Jenab memekik sekuat-kuatnya melihat suaminya berubah jadi buaya. Lalu Jenab berlari ke kamar Maun, ia hampir pingsan melihat Maun pun berubah menjadi buaya buntung. Kedua binatang itu merayap meninggalkan kamarnya masing-masing. Dan sebelum meninggalkan rumah, kedua buaya itu menatap wajah Jenab dengan sedih.
“Oh … tidak! Mengapa bisa begini …”
Jenab menangis sejadi-jadinya. Tak ada seseorang tempat mengadu, karena ibunya telah lama meninggal dunia beberapa bulan setelah Jenab menikah. Tak ada lagi yang dapat dibuatnya melainkan mengikuti kedua ekor buaya itu sampai ke tepi sungai. Buaya hilang dalam deras air sungai.
Jenab menjadi pemurung, tampak sekali ia cepat tua. Tubuhnya yang cantik sintal menjadi kurus kering. Wajahnya menyerupai nenek-nenek. Yang menghibur Jenab adalah saat-saat ia berdiri di tepi sungai. Memandang deras air sungai mengalir ke utara. Ia memanggil nama Kaimun dan Maun berkali-kali. Mendengar namanya dipanggil, dua ekor buaya menyembul menghampiri Jenab.
Pasa suatu hari, seperti biasanya, Jenab berdiri di tepi sungai memanggil-manggil nama suami dan anaknya. Tetapi yang muncul hanya seekor buaya buntung. Itulah Maun anaknya. Jenab memanggil nama suaminya lagi. Buaya buntung malah bergerak ke arah utara sungai. Jenab menatap dengan cemas gerakan buaya buntung. Sekitar 20 meter dari arah tempat Jenab biasa berdiri terlihat bangkai seekor buaya mengambang. Buaya buntung kembali lagi ke tempat semula, Jenab memandang dengan sedih. Tak lama kemudian buaya buntung menyelam.
Tahulah Jenab bahwa suaminya telah mati. Kini hanya tinggal buaya buntung saja yang ia jumpai setiap berdiri di tepi sungai. *****
Jakarta, 7 September 2004.