kebudayaanbetawi.com, Hari ini, 5 Desember, bukan sembarang hari. Ini hari lahir Cang Yahya Andi Saputra, si empunya puisi “Jampe Sayur Asem.” Kalau Betawi punya pahlawan sastra yang menyulap cobek dan panci jadi panggung puisi, itu tak lain adalah Cang Yahya Andi Saputra. Lahir di hari yang sama ketika banyak orang sibuk siap-siap libur akhir tahun, Cang Yahya justru ngasih kado terbaik buat kita semua: puisi yang ngulek rasa tradisi, nostalgia, dan Betawi asli jadi satu kesatuan nikmat yang gurih abis.
Coba ente pikirin: berapa banyak penyair yang bisa bikin sayur asem — menu sederhana dari dapur emak-emak Betawi — jadi simbol hidup, budaya, dan spiritualitas? Puisi ini bukan sekadar nyeritain resep atau cara bikin sayur asem; ini cerita hidup yang mendidih, ngalir, dan nyerempet emosi. Dan kalau hari ini adalah hari lahir si Cang Yahya, berarti pas banget buat kita rayain dengan cara kita: ngupas puisi ini sampe ke bijinya, ngulik tiap bait sampe kita paham kenapa sayur asem bisa jadi bumbu hidup yang hakiki.
Jadi, mari kita hormati hari istimewa ini, hari lahir seorang maestro yang dengan cangkir teh hangat di tangannya bisa ngegubah cobek jadi altar seni, panci jadi metafora hidup, dan rapalan jampe jadi puisi yang bikin pembacanya manggut-manggut sambil senyum. Selamat ulang tahun, Cang Yahya, dan mari kita mulai ulasan ini dengan hormat yang mendalam dan kuah sayur asem yang meluap-luap!
Pembukaan dan Pemandangan Dapur Emak
Emak nyiangin sayuran, kata-kata ini, sederhana memang kedengarannya. Tapi coba perhatiin, di balik nyiang sayur, ada semesta kecil yang hidup, bergerak dari dapur emak ke alam pikiran kita. Ini bukan cuma soal nyiapin makan siang atau nyayur asem buat ngisi perut, tapi sebuah ritus yang udah mendarah daging. Saya bayangin, tiap daun ninjo yang dirawis, tiap nangka muda yang dipotong lonjong, itu kayak puzzle kecil dari sebuah gambaran besar tentang tradisi dan perawatan kasih sayang. Emak di sini kayak “arsitek rasa,” ngatur tiap komponen biar pas, kayak penyair milih diksi. Kalau sayur asem ini puisi, maka bawang merah, cabai, dan terasi adalah enjambemen — tanda-tanda kecil yang ngatur alur biar enak. Papaya yang dipotong wajik bukan sekadar papaya, tapi metafora buat ketekunan emak. Pikirkan juga kacang panjang yang dirawis; itu bukan sekadar proses mekanis. Itu adalah bentuk meditatif, mirip kayak kita baca doa. Sayur asem di sini adalah mikro-kosmos budaya Betawi, terjaga lewat gerakan tangan emak yang gak pernah henti-hentinya. Tiap irisan, tiap bumbu, tiap rebusan, semuanya punya makna, persis kayak bait-bait sajak dalam tradisi lisan.
Bumbu, Tradisi, dan Ritual dalam Dapur Betawi
Ketika emak ulek cabai merah, bawang merah, bawang putih, kemiri, dan terasi, saya gak cuma lihat emak bikin bumbu. Saya bayangin ini kayak proses kreasi seni tinggi, seperti pelukis yang nyampur warna di kanvas. Cobek dan ulekan itu alat sakral, kayak pena buat penyair atau kuas buat pelukis. Ada energi yang tertanam dalam tiap tumbukan. Di sini, dapur adalah altar, cobek adalah batu permata, dan bumbu yang diulek jadi “mantra” buat kehidupan. Kalau kata orang luar, ini “culinary poetry” — puisi masakan. Tapi buat saya, ini lebih dari sekadar makanan atau puisi. Ini perwujudan identitas yang nempel sama tanah Betawi. Lihat aja lengkuas dan asem jawa yang ditambahin ke panci. Lengkuas itu kayak enjambemen dalam puisi modern, nyambungin antara rasa pedas dan gurih, sementara asem jawa itu klimaks, semacam “volta” atau titik balik dalam soneta. Bumbu halus yang dimasukin emak ke panci mendidih kayak metafora buat pengorbanan. Panas air di panci itu simbol ujian hidup, tapi dari situ keluar aroma yang bikin lapar. Emak adalah alkemis, ngubah elemen-elemen sederhana jadi emas rasa. Dan air mendidih itu kayak hidup — gak berhenti bergolak.
Mantra sebagai Puncak Sakralitas
Nah, pas emak ngucapin mantra, di sinilah puisi ini mencapai klimaksnya. “Aring uwung awang-awang, daon dadap daon bisoro…” Coba kita berhenti sebentar di sini. Ini bukan sembarang kata-kata. Ini jampe, sebuah seni yang udah jadi bagian dari tradisi lisan nusantara, terutama di dapur. Kalau di Jawa ada mantra buat menanak nasi atau nyiapin tumpeng, di Betawi ada jampe buat sayur asem. Saya baca ini kayak baca puisi sufi, di mana kata-katanya mungkin terdengar gak langsung, tapi punya makna simbolik yang dalam. Daon dadap dan daon bisoro itu bukan cuma tanaman; mereka adalah simbol kehidupan sehari-hari yang sering kita abaikan. Jampe emak ini kayak penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib, antara alam rasional dan alam spiritual. Di sini, dapur bukan cuma tempat masak, tapi jadi ruang suci di mana energi-energi positif dikumpulin dan ditransfer ke makanan. Kalau emak nyebut “aring uwung awang-awang,” saya jadi inget puisi Jalaluddin Rumi yang bilang, “The wound is the place where the Light enters you.” Maksudnya, bumbu yang ‘tercobek’ ini, yang ‘terluka,’ adalah tempat rasa bercahaya keluar.
Peran Perempuan dalam Tradisi dan Puisi
Peran emak dalam puisi ini gak bisa dianggap remeh. Emak di sini adalah representasi perempuan sebagai penjaga tradisi. Lewat masakannya, emak nyalurin ilmu yang mungkin gak pernah ditulis, tapi dihapal di kepala dan di hati. Ini semacam “oral tradition” yang hidup terus dari generasi ke generasi. Kita tahu, sejarah sering kali ditulis sama tangan laki-laki, tapi dapur adalah ruang perempuan, tempat mereka bikin “sejarah kecil” lewat masakan. Puisi ini kayak pengakuan diam-diam terhadap kekuatan perempuan Betawi yang gak pernah digembar-gemborin, tapi nyata pengaruhnya. Emak yang tiada henti merapal jampe adalah penjaga nilai-nilai kultural, emak bukan cuma berdoa buat diri sendiri, tapi juga buat keluarga, buat bumi, buat kita semua.
Sayur Asem sebagai Refleksi Kehidupan
Sayur asem itu, kalau dipikir-pikir, gak sekadar makanan biasa, tapi semacam cerminan hidup kita sehari-hari. Lihat aja isinya: nangka muda, papaya, kacang panjang, daun ninjo, semuanya punya karakter masing-masing, tapi mereka saling melengkapi di satu panci. Ini kayak kehidupan kita yang penuh keberagaman. Gak semua orang sama, ada yang manis kayak jagung, ada yang seger kayak asem jawa, ada yang ‘tajam’ kayak cabai, tapi semua itu bikin hidup kita jadi kaya rasa. Filosofi sayur asem ini, kalau mau dikiaskan, mirip sama puisi Walt Whitman di Leaves of Grass: “I am large, I contain multitudes.” Sayur asem juga “contain multitudes” — mengandung banyak elemen yang gak selalu harmonis sendiri-sendiri, tapi bersatu dalam panci kehidupan. Air yang mendidih itu simbol ujian, kayak perjuangan kita sehari-hari yang gak pernah lepas dari tantangan. Tapi setelah semua diuji, rasanya justru makin enak. Ini semacam pelajaran tersirat: hidup itu butuh proses, perlu rasa sakit dulu sebelum kita nikmatin hasilnya.
Kosmologi Betawi di Dapur
Dalam budaya Betawi, dapur itu bukan cuma tempat buat masak, tapi juga semacam pusat kosmologi kecil. Di dapur, ada hubungan antara manusia, alam, dan yang gaib. Kalau kita lihat puisi ini, jampe yang dirapal emak itu kayak doa yang nyambungin kita ke energi alam semesta. Ini mirip konsep “mikro-makro kosmos” dalam tradisi Timur, di mana dapur adalah representasi kecil dari harmoni alam semesta. Misalnya, asem jawa di sini bukan cuma bahan masak, tapi juga simbol keseimbangan antara rasa manis dan asam dalam hidup. Lengkuas dan daun dadap itu kayak penanda alam, bahwa kita gak bisa lepas dari akar budaya agraris. Kalau di puisi klasik Jawa ada konsep “kawula lan gusti,” hubungan manusia dan Tuhan, maka di Betawi, hubungan itu diwujudkan lewat aktivitas harian seperti masak. Cang Yahya dengan jeniusnya bikin dapur emak jadi metafora kecil buat seluruh jagad raya, di mana harmoni rasa mewakili harmoni hidup.
Jampe sebagai Seni Lisan yang Hidup
Jampe yang dirapal emak di tengah proses masak ini jadi salah satu highlight dalam puisi. Jampe ini, meski mungkin terdengar sederhana, sebenernya adalah wujud seni lisan yang udah jarang kita perhatiin. Ini warisan budaya, mirip kayak mantra dalam sastra suku-suku Nusantara. Di Toraja, ada ritual “rambu tuka” dengan syair-syair panjang. Di Minangkabau, ada “gurindam” buat menyampaikan petuah. Di Betawi, kita punya jampe dapur, yang meski kelihatannya sederhana, menyimpan nilai-nilai luhur. Cang Yahya berhasil nge-frame jampe ini dengan estetika modern yang bikin kita sadar, kalau seni itu gak cuma ada di panggung atau galeri, tapi juga di tempat-tempat kecil kayak dapur emak. Jampe ini ngasih roh ke sayur asem, bikin makanan biasa jadi sesuatu yang punya nyawa. Saya bayangin, kalau jampe ini disandingkan sama syair Rumi, maka ini bakal sejajar dalam hal kedalaman spiritualitasnya.
Perempuan sebagai Pengendali Rasa
Puisi ini juga jadi semacam ode buat emak sebagai perempuan Betawi yang tangguh. Di dapur, emak bukan cuma sekadar masak. Dia ngatur rasa, ngatur harmoni, dan secara gak langsung ngatur hidup kita semua. Dapur adalah kerajaannya, dan panci serta cobek adalah alat kekuasaannya. Kalau dipikir-pikir, peran emak ini mirip sama peran perempuan dalam banyak mitos Nusantara. Emak di sini adalah Dewi Sri yang menjaga keseimbangan pangan, dia juga bisa jadi “Earth Mother” versi lokal, yang menjaga keharmonisan hidup lewat masakan. Puisi ini mengingatkan kita pada feminisme yang gak harus disuarakan dengan teriak-teriak, tapi bisa disampaikan lewat kehangatan dapur. Emak adalah representasi perempuan yang membangun tanpa mengharapkan tepuk tangan. Seperti puisi Sapardi Djoko Damono tentang hujan, emak “tidak memilih untuk terkenal,” tapi keberadaannya dirasakan sepanjang waktu.
Sayur Asem, Puisi, dan Hidup yang Berkeringat di Cobek Betawi
Jadi begini, bang-mpok, setelah kita kelarin ngulek puisi “Jampe Sayur Asem” karya si Cang Yahya Andi Saputra ini, udah jelas banget, nih: hidup itu kayak sayur asem di panci emak-emak Betawi — nggak pernah cuma soal satu rasa doang. Ada asemnya, ada manisnya gula jawa, ada pedasnya cabe, bahkan getir dikit dari daon ninjo. Tapi justru dari semua campuran itulah, hidup jadi gurih, jadi berasa. Persis kayak cara Cang Yahya ngeracik puisi ini: bumbu kata-katanya ngalir penuh irama, nyambungin dapur ke jantung tradisi, nyerempet spiritualitas sambil tetep ngejaga kesederhanaan yang ngangenin.
Dan rapalan jampe emak di tengah proses masak itu, bukan cuma pelengkap; itu adalah jiwa dari semuanya. Itu pengingat halus bahwa bahkan dalam hal kecil kayak masak sayur asem, ada elemen mistik, doa, dan harapan yang diselipin. Hidup nggak pernah cuma soal kerja keras aja, bos. Kadang, kita butuh percaya sama hal-hal di luar logika, kayak harapan emak-emak Betawi yang nganggep lengkuas dan asem jawa lebih dari sekadar bumbu — tapi juga jalan buat ngenalin siapa diri kita.
Jadi, buat ente yang lagi keringetan ngejar hidup di Jakarta atau yang suka ngerasa “terlalu kecil” buat peta besar dunia ini, dengerin baik-baik puisi ini. Ini pengingat sederhana tapi dalem: jangan pernah remehin kekuatan dapur, tradisi, dan seni ngomong pake hati. Karena, kata Cang Yahya, hidup itu nggak cuma soal ngejar deadline atau saldo paylater. Hidup itu ada di panci yang mendidih, di cobek yang beradu, dan di jampe yang ditiup pelan sambil nunggu kuah sayur asem jadi. Dan siapa tau, di sanalah, di sela-sela aroma bumbu, kita bisa nemuin diri kita yang sebenarnya — hangat, rame, dan tetep sederhana.
Cang Yahya, ente emang jago beuuudh. Puisi ini beneran kayak sayur asem yang bikin hati hangat, tapi juga nendang!
5 Desember, 2024