“CERITA DARI DAPUR” YAHYA
Esai :HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
—————————————————————————————————————-
Disampaikan pada acara Bedah Buku Mimbar Sastra PDS HB Jassin #2 di Jakarta, 9 April 2021
1/.
“Cerita Dari Dapur”. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan mengobah banyak sendi kehidupan masyarakat, masih belum berkepastian kapan berakhir. Namun tanpa basa-basi, penyair Betawi – Yahya Andi Saputra meluncurkan Cerita dari Dapur (CdD), kitab puisi ke-4 karyanya setelah Gelembung Imaji, Sihir Sindir, dan Jampe Sayur Asem.
Teras Budaya Jakarta (TBJ), penerbit yang dipercaya Yahya menerbitkannya, dalam pengantar sepanjang hampir tiga halaman, sama sekali tidak menyebut dan memberi gambaran pada pembaca: ini antologi apa? Di awal pengantar, TBJ cuma bilang ada 92 teks yang terdapat di dalam antologi Cerita dari Dapur karya Yahya Andi Saputra ini.
Ada semacam keraguan penerbit untuk secara gamblang menyebut ini adalah kitab atau buku antologi (atau kumpulan) puisi. Sementara di sampul buku yang dibalur warna hijau lumut, terang-benderang Yahya menyebut CdD adalah sebuah Kitab Puisi, yang tak lain (sekali lagi) adalah sebuah antologi atau buku kumpulan puisi.
Pernyataan Yahya pada sampul depan CdD itu dipertegas lagi dalam lembar Tabe yang mengantar sajian kitab ini. Di lembar sepanjang dua setengah halaman dan terbagi emat alinea itu, Yahya tegas menyebut CdD sebagai buku kumpulan puisi. Dan kalimat “buku kumpulan puisi”, “buku puisi” serta ”puisi-puisi” ataupun kata “puisi”, ditulis Yahya di lembar Tabe itu hingga 12 (duabelas) kali, seperti ingin menegaskan pada siapapun pembaca bahwa 92 teks yang dibukukannya dalam kitab antologi ini adalah sebenar-benarnya karya puisi.
Namun keraguan TBJ saya kira ada benarnya, dan juga saya rasakan. Saat menerima paket kiriman Yahya misalnya, saya lantas menggeletakkan begitu saja kitab CdD itu di atas meja di ruang tengah, sampai kemudian seorang anak kami tertarik membolak-balik halamannya, dan nyeletuk, “Ini buku puisi atau apa. ya, Pak? Isinya kok banyak cerpennya…?”
Sebagaimana keraguan TBJ, tak salah bila anak kami juga ragu dan bertanya seperti itu. Maklum, isi kitab puisi CdD sepintas memang mirip kumpulan cerpen atau cerita pendek. Banyak karya di kitab puisi itu yang seperti sengaja ditulis Yahya dengan cara berbeda dari umumnya penyair menulis puisi (modern) di masa kini. Di kitab itu, Yahya banyak menuliskan pikiran-pikiran puitikanya sebagaimana orang menulis prosa, cerpen ataupun hikayat.
Bahkan ada yang tajuknya sengaja (?) didahului kata “hikayat” – semisal dua teks pembuka pada Kitab Puisi tersebut, yakni Hikayat Sang Jelita dan Hikayat Petualang, serta Hikayat Pak Jujur (hal 57-58) – yang langsung mengingatkan saya pada teks atau naskah hikayat Seribu Satu Malam yang biasa “Yahya Andi Saputra – Pejait Masakini” tulis atau reka ulang sebagai bahan mendongeng khas Betawi, Sohibul Hikayat (lihat Heryus Saputro Samhudi – prosiding Seminar dan Festival Internasional Tradisi Lisan, 2014).
Kita tahu bahwa menulis puisi dengan model atau gaya bentuk prosa, seperti layaknya menulis cerpen, bukanlah sesuatu yang baru. Banyak karya penyair masa lalu ataupun di masakini, di luar ataupun dalam negeri, yang menulis puisi serupa bentuk prosa.
Mengutip pengantar Penerbit TBJ, pilihan untuk menuliskan seluruh teks dalam antologi ini, apakah dalam bentuk prosa atau puisi sudah menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Terlebih lagi, perkembangan sastra modern saat ini, hampir melampaui seluruh Batasan-batasan atau kaidah penulisan pada umumnya. Seseorang dapat saja menulis esai dalam bentuk puisi, menulis esai dalam bentuk dialog drama, atau menulis tidak ubahnya sebuah laporan semata.
Pendekatan sastra pada saat ini memang tak lagi dapat dilakukan dengan pemahaman yang terbatas dan konvensional. Itu juga tampak diungkap Yahya, misalnya pada tiga puisi pembuka di Kitab Puisi tersebut, yakni Hikayat Sang Jelita; Hikayat Petualang; dan Solilokui Guru Budi yang sengaja ditulis Yahya seperti bentuk cerpen.
Pada Bagian I bertajuk NEGERI NGILU, cara penulisan serupa cerpen juga tampak di puisi: Menyusuri Riwayatmu (hal 10 -11); Tiada Habis Cinta Hingga Tiada (hal 14 – 15); Negeri Ngilu (hal 18 – 19); Malu Munajat (hal 22); Rindu Ramadhan Rindu (hal 23 – 24); Merayu Gunung Berapi (hal 33 – 34); Hutan Hujan (hal 35 – 36), dan Elegi Pesisir di halaman 47 – 48 yang sekaligus menutup Bagian I.
Pada Bagian II bertajuk NEGERI MIRING ada puisi Cerita Tiga Cinta (hal 53 – 55) dan Hilayat Pak Jujur (hal 57 – 58); sedangkan pada Bagian III bertajuk ONRUST, SENJA, DAN MARIA ada puisi Pangkalan Rantau (hal 96 – 97) dan Cerita dari Dapur yang mengisi halaman119 dan 120.
Diluar kelimabelas karya di atas yang masing-masing mengisi satu hingga 3 (tiga) halaman Kitab Puisi, saya juga menemukan tiga buah bentuk penulisan puisi serupa cerpen atau minikisah dengan konten teks yang lebih pendek, seperti karya bertajuk Pelabuhan (Bagian I, hal 21, 1 alinea 11 baris); Ciliwung (Bagian II, hal 59. 2 alinea 9 baris); dan Menerka Korona I pada Bagian III, hal 100 yang ditulis Yahya dalam kalimat-kalimat yang saling sambung-menyambung menjadi 15 baris.
Bagi saya, gaya atau cara Yahya menulis puisi-puisinya itu, yang (sekali lagi) banyak mirip bentuk cerpen, adalah cara Yahya pribadi, cara ungkap yang sah untuk menyebut kesemua teks dalam kitab CdD teks-teks puisi. Sebab pada hakikatnya, puisi itu adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra (bagan yang dipakai di penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah, panjang, atau tekanan suku-kata), rima, serta penyusunan larik dan bait. Dan apa yang ditulis Yahya di atas, memenuhi semua kriteria tersebut. Teks-teks puisi khas Yahya Andi Saputra.
2/
“Cerita Dari Dapur”. Apa yang hendak diungkap Yahya lewat ke-92 taks puisi di atas? Yahya sendiri mengaku tak punya tema khusus saat bermaksud menerbitkan buku ini. ‘Hikayat’ atau kisah pada puisinya sekadar hasil pengalaman keseharian yang nongol dan dia serap begitu saja. Kelebat pengalaman keseharian itu kadang melompat-lompat tak tentu arah. Apa yang bisa dia tangkap, dibenamkannya jadi puisi.
Tiga tahun (2018 – 2020) Yahya bersetia menangkap nilai-nilai puitika yang lalu-lalang dalam kesehariannya. Dia tulis sebagaimana catatan harian, dan lalu dia bukukan sesuai urutan tanggal dan tahun kehadirannya. Semua diungkap Yahya tanpa pilih-pilih. Dari soal cinta (kepada seseorang, pada agama, bangsa dan negara), soal-soal sosial-budaya ataupun politik disaksikan atau didengarnya, berkait kesejarahan, bahkan juga kenangan masa kecil ihwal jampi-jampi dan permainan anak.
Semua itu ditulis Yahya menjadi bentuk-bentuk puisi yang utuh dan bercerita, yang bagi saya, bila dikupas satu-satu…akan menjadi buku kumpulan 92 buah cerita, yang masing-masing cerita bisa ditulis lebih dari 1 halaman panjangnya. Ya, bagi saya, tidak ada teks puisi dalam kitab CdD yang tidak menarik untuk didiskusikan.
Satu hal yang paling menarik saya, Yahya menulis puisi-puisinya dengan kesadaran penuh sebagai anak Betawi, lahir dan besar dalam tutur Bahasa dan budaya Betawi, hingga karya-karya puisinya menjadi unik dan khas. Dalam amatan saya…belum ada anak Betawi atau penyair Indonesia kelahiran Betawi, yang menulis puisi sebagaimana Yahya menulis puisi.
Tak cuma saat menuliskannya, bahkan saat membaca puisi-puisinya di panggung sastra, Yahya juga tak kehilangan ‘roh’nya sebagai anak Betawi yang kental dengan budaya-budaya pertunjukan khas Betawi. Dengan gaya menulis dan cara pengungkapannya di panggung, sosok Yahya sebagai penyair menjadi mudah diingat, Bila ada yang mencari dan bertanya siapakah penyair yang karyanya punya karakter khas? Satu di antaranya penyair Indonesia yang harus saya sebut adalah: Yahya Andi Saputra.
Salam.