Dan Kita Bertahan Sejadi-jadinya

Dan Kita Bertahan Sejadi-jadinya ……

Dan Kita Bertahan Sejadi-jadinya...*
Oleh Zen Hae

kebudayaan betawi  Jika kita sepakat pada satu asumsi bahwa keberadaan sebuah bahasa sangat tergantung pada keberadaan penuturnya, ada baiknya kita memeriksa kembali hubungan bahasa Melayu Betawi dengan nasib orang Betawi. Secara kasat mata bisa kita menyaksikan orang-orang Betawi yang tergusur dari tanah mereka sendiri akibat pembangunan Jakarta yang luar biasa pesat dan ngawurnya. Mereka yang dulu pernah mendiami wilayah-wilayah yang bisa dicirikan sebagai “kampung orang Betawi”, seperti Karet, Tenabang, Senayan, Kemayoran, Kebayoran, dan lain-lain sekarang mau tidak mau mendiami daerah-daerah pinggiran Jakarta. Tanah di kampung-kampung mereka disulap menjadi berbagai penanda kota: kompleks perumahan, menara perkantoran, mal, hotel, sarana olahraga…

Akan tetapi, lihatlah, dalam ketergusuran itu orang Betawi bukan hanya membawa diri mereka tetapi juga segenap ingatan akan tanah asal, kebudayaan, folklor, dan jangan lupa: bahasa. Maka akibat penggusuran ini terjadilah proses yang dalam ilmu fisika disebut “gerak sentrifugal”, yakni gerak atom menjauhi pusat. Sebuah bahasa (dan segala anasir lain kebudayaan) terpaksa menjauhi pusatnya untuk bisa bertahan dengan segala potensinya di pinggiran, mengikuti para penuturnya. Dan sang penutur semaksimal mungkin akan mencari lingkungan para penutur (kolektif) yang mempunyai ciri pengenal kebudayaan yang sama dengan dirinya.  Salah satu tujuannya untuk merebut kembali serta memperkokoh identitas folknya yang sempat terancam di daerah asal.[1]

Memang, penggusuran adalah proses pencabutan paksa folk dari akar-akar kulturalnya, akan tetapi “penanaman kembali”, pencarian akan tanah kultural yang baru, adalah sebuah pilihan bebas, jika bukan setengah bebas. Dan kita tahu kemudian, upaya ini menjadi sangat kompleks, dan adakalanya tidak berhasil. Jumlah uang gusuran dan ketersediaan lahan bisa menjadi pokok perhitungan yang penting. Karena itu dalam upaya pencarian tanah kultural yang baru ini yang terjadi bukan hanya ke daerah mana folk akan berlindung, tetapi selanjutnya adalah pertemuan, pergesekan, saling-serap, antar-bahasa, antar-dialek dan sub-dialek “tengah” dengan “pinggir”, “kota” dengan “kampung”, tetapi juga “pinggir” dengan “pinggir” lainnya, “ora” dengan “ora” lainnya.[2]

Dengan pengantar ini saya sudah memasuki persoalan daya tahan bahasa di era globalisasi. Kita tahu setiap bahasa memiliki mekanisme pertahanannya sendiri-sendiri dalam menghadapi perubahan zaman, perubahan perilaku serta gaya hidup para penuturnya, kehadiran para penutur bahasa lainnya, berkembangan kota, juga pertumbuhan media massa. Salah satu yang terpenting adalah “penyerapan” atau “saling-serap, antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya, antara dialek yang satu dengan dialek lainnya, begitu seterusnya.

Bahasa Betawi sejak awal pertumbuhannya sudah menyerap unsur-unsur bahasa lain, daerah maupun asing, seiring dengan perkembangan orang Betawi dalam bersinggungan dengan suku atau bangsa lain.[3] Karena itu, dengan saling-serap ini sebenarnya kita berhadapan dengan proses dan kondisi hibridisasi, persilangan, percampuran, ketidakmurnian, ya, ketidakaslian. Sesuatu berkembang, menjadi kaya dan kuat, justru ketika ia memberi pengaruh sekaligus menerima pengaruh pihak lain. Dan karena itu pula, proyek hibridisasi adalah syarat utama sebuah bahasa untuk bisa bertahan dan berkembang.

Adapun globalisasi bukan hanya proses penduniaan kebudayaan Barat (Eropa/Amerika Utara) tetapi juga kebudayan-kebudayaan vernakular. Dan dalam konteks Indonesia, globalisasi menantang budaya-budaya lokal, termasuk budaya dan bahasa Betawi, untuk melakukan subversi atau perlawanan terhadap dominasi Barat. Atau jika istilah ini terlalu heroik, budaya lokal harus menyadap berbagai anasir budaya global untuk membuat dirinya modern, atau merasuki budaya global untuk membuat yang global memiliki sisi lokal juga.

Pertanyaan yang mesti dijawab adalah seberapa besar potensi bahasa Betawi untuk menjadi bagian dari globalisasi ketika selama ini ia lebih identik dengan segala yang tradisional: budaya tradisional, sastra tradisional, teater tradisional, musik tradisional, masyarakat tradisional (relijius pula). Belum lagi ada semacam sikap penolakan atas segala unsur budaya asing yang identik dengan Barat karena anggapan bisa merusak budaya lokal, mengurangi “kemurnian” budaya tradisional. Bagaimana proses pewarisan budaya dan bahasa Betawi bisa berlangsung di tengah tantangan globalisasi? Dan seterusnya.
*
Pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan jawaban yang mendalam serta bisa menjadi telaah tersendiri. Akan tetapi di seputar ini saya mau mengajukan satu ilustrai lagi tentang perkembangan bahasa Betawi. Pada 1970an, bisa jadi lebih awal lagi, berkembang apa yang disebut C.D. Grijns sebagai “bahasa Jakarta modern” atau “bahasa Melayu-Jakarta modern” menurut Stephen Wallace di kalangan anak-anak Jakarta.[4] Sebuah bahasa yang merupakan semacam metamorfosis dari bahasa Betawi, yang bagi Tuan Wallace merupakan ragam “daerah tengahan” antara bahas Melayu-Jakarta tradisional dan bahasa Indonesia. Kata Tuan Wallace, “Terutama di kalangan anak-anak muda…Melayu-Jakarta modern telah menjadi dialek yang dipakai meluas dengan konotasi mengikuti mode, menyenangkan, baru, dan berbau metropolitan.”

Inilah bahasa yang tumbuh karena proses modernisasi Jakarta menjadi metropolitan. Bahasa yang dipakai oleh anak-anak yang lahir dan besar di Jakarta, dari keluarga Betawi maupun bukan Betawi. Itulah bahasa yang dipakai anak-anak Jakarta yang bukan lahir dan besar di lingkungan Betawi Rawabelong, Tenabang, dan lain sebagainya, tetapi di kalangan kaum terpelajar, di kawasan Menteng, di radio Prambors, di kalangan personel grup lawak Pancaran Sinar Patrmoks (PSP), dan Warkop DKI. Bahasa anak Jakarta yang terkadang menggelikan di telinga karena dilafalkan dengan lidah yang belum sepenuhnya lentur, masih ada aksen daerah tertentu, Jawa misalnya.

Sementara anak-anak Betawi generasi berikutnya, yang mulai makan bangku sekolahan, tetap tampil dengan bahasa ibu mereka sendiri yang selama ini berkonotasi tradisional. Meski rezim bahasa Indonesia di sekolahan membuat mereka menjadi mestizo secara sosiolinguistik. Sebagaimana bisa dicirikan secara fiktif lewat tokoh si Doel dalam sinetron serial “Si Doel Anak Sekolahan”. Sementara, jika kita mengamati ragam bahasa Betawi yang digunakan di sejumlah sinetron (dan film) sekarang ini, kita menemukan perkembangan lebih lanjut dari apa yang sudah terjadi sekitar 40 tahun silam. Bahwa perkembangan ini menimbulkan kecemasan di kalangan eksponen kebudayaan Betawi, karena terdapat seabrek kesalahkaprahan dalam penggunaan bahasa Betawi dalam acara tersebut, itu bisa dimaklumi dan bisa menjadi bahan telaah yang menarik.[5]

Tetapi yang menarik buat saya adalah adanya proses metamorfosis, sebuah daya tahan, yang terjadi secara luar biasa sekaligus ironis. Sebab bahasa Betawi mampu bertahan dan berkembang dengan khalayak penutur yang lebih luas dan modern, tetapi di saat yang sama, orang Betawi sebagai penutur bahasa Betawi justru sedang dan akan terus mengalami penggusuran demi pembangunan Jakarta. Bahasanya justru diadopsi, diserap dan dikembangkan, oleh kalangan luar Betawi sebagai sebentuk gaya hidup modern, ciri orang Jakarta.[6]

Dan harus dicatat juga bahwa metamorfosis dan daya tahan ini bukan hanya mewujud di kalangan anak-anak Jakarta hari ini tetapi juga tetapi juga menyebar ke kota-kota lain, bahkan ke negara tetangga.[7] Tengoklah bagaimana kaum urban di Jakarta membawa pulang bahasa Jakarta modern ke kampung mereka dengan bangganya, ber”elu-gue” sebagai penanda ia sudah merantau ke Jakarta, menjadi bagian dari dunia modern, dunia urban Jakarta. Ekspansi ini terasa lebih ekspansif lagi lewat stasiun-stasiun radio. Yang ngomong bahasa Jakarta modern kini bukan hanya para penyiar radio Prambors atau Bens Radio, atau Radio Ramega di Tangerang[8], tetapi juga radio Kharisma di Lampung, dan sejumlah radio di lain kota.

Dengan munculnya sejumlah variasi ini, saya bisa memastikan bahwa bahasa Betawi sebagai cikal-bakal mereka, adalah bahasa yang lentur sekaligus egaliter, demokratis sekaligus menyegarkan. Dengan karakter seperti ini sebuah bahasa mempunyai kemampuan berkembang sekaligus bertahan yang lebih besar dari bahasa lainnya. Akan tetapi, yang segera mesti dijawab kemudian adalah seberapa besar cadangan kreativitas para penuturnya dalam melahirkan kembali berbagai jenis folklor baru? Sebab dengan lahirnya folklor-folklor baru berarti juga sebuah tradisi berkembang, terwariskan dari generasi ke generasi dengan sentuhan kreativitas masing-masing. Itu artinya, setiap generasi akan menuturkan bahasa yang berbeda, folklor yang lain lagi, yang justru memperkaya khazanah kebudayaan kita. Dengan begitu saya bangga menjadi orang Betawi.***

Kembangan—Cikini, 24 Juli 2008

__________________________________________________________________

Zen Hae menamatkan studi Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta). Ia menulis puisi, cerita (panjang dan pendek) dan sesekali tinjauan sastra.  Buku sastranya adalah Rumah Kawin (kumpulan cerita, 2007) dan Paus Merah Jambu (kumpulan puisi, 2007). Paus Merah Jambu dinobatkan sebagai “Karya Sastra Terbaik 2007” oleh majalah Tempo dan masuk lima besar Khatulistiwa Literay Award 2007. Ia Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2006—2009).

__________________________________________________________________

*    Sebuah perangsang diskusi pada “Lokakarya Folklore Betawi” di Wisma Primkokarmar, Cipayung, Jawa Barat, 28—29 Juli 2008. Kecuali di forum ini, esai ini tidak untuk disiarkan di manapun jua.

  • [1]   Ini merupakan modifikasi dari apa yang disebut oleh James Danandjaja sebagai fungsi bahasa rakyat dalam kehidupan bermasyarakat folknya. Baca,  James Danadjaja, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, cetakan ke-4).
  • [2]   Saya punya tiga ilustrasi tentang ini. Saya memiliki nenek-misan yang berasal dari Tenabang. Di tahun 1980an ia pindah ke kampung saya, Kembangan, karena suaminya membeli sebidang tanah milik nenek saya. Sehari-hari ia berbicara dalam bahasa Betawi sub-dialek Tenabang (Karet), tetapi lama-kelamaan dia bisa juga berbicara dalam sub-dialek Betawi Ora yang dituturkan di kampung saya. Sementara ada seorang paman-misan saya yang pindah ke Kampung Melayu, Tangerang, pada awal 1990an. Beberapa bulan setelah kepindahannya saya mengunjunginya dan ketahuan dia mulai bisa berbicaya dalam sub-dialek Betawi Ora (pesisir utara Jakarta dan Tangerang). Kelihatan pada aksennya. Sementara istri saya berdarah campuran Batak-Jawa dan lahir di Bandar Jaya, Lampung Tengah. Selama di Lampung ia lebih banyak berbahasa Indonesia di rumah dan di dalam pergaulan ia menggunakan bahasa yang biasa digunakan anak-anak muda Lampung, yang banyak menyerap anasir bahasa Jakarta modern. Tetapi ketika pindah ke Kembangan yang notabene sebagian besar penduduknya berbahasa Betawi Ora, ia sempat kebingungan, ada beberapa kosakata Betawi yang tidak ia mengerti, meski lambat-laun ia faham. Akan tetapi, tidak sepenuhnya bisa masuk ke dalam ragam cakapan bahasa Betawi.
  • [3]   Ada sejumlah telaah tentang proses pembentukan etnis dan bahasa Betawi. Salah satu yang bisa dirujuk dan kontroversial adalah buku Lance Castle, Profil Etnik Jakarta, penerjemah Gatot Triwira, (Jakarta: Masup Jakarta, Juni 2007).
  • [4]   Untuk uraian lebih lengkap baca C.D. Grijns, Kajian Bahasa Melayu Betawi, penerjemah: Rahayu Hidayat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
  • [5]   Salah satu acara yang bisa diacu adalah sinetron serial “Si Doel Anak Sekolahan”. Belakangan muncul sejumlah sinetron yang mengekor keberhasilan “Si Doel” yang tentu saja dengan kualitas di bawahnya, dengan kesalahkaprahan yang kian bertambah pula. Mungkin bisa disebut “Si Entong”. Tapi kita juga bisa membandingkan penggunaan bahasa Betawi dalam film-film yang pernah ada: antara “Si Pitung” dengan “Si Ayub dari Teluk Naga” atau film-film Warkop DKI dan serial “Lupus” dan “Catatan Si Boy”.
  • [6]   Variasi ini juga bisa ditambahkan dengan munculnya apa yang secara populer disebut “bahasa gaul”. Sebentuk ragam bahasa yang jauh lebih khusus penggunaannya, tetapi tidak bisa dilepaskan dari ragam bahasa Jakarta modern.
  • [7]   Ber-”elu-gue” sebagai sebuah gejala kebahasaan anak-anak muda bisa kita temuka di Singapura (dan Malaysia). Salah dua yang bisa diidentifikasi sebagai penyebar ragam bahasa Jakarta  modern adalah para buruh migran dan bintang sinetron. Seorang penyair Singapura Rafaat Haji Hamzah pernah menggelar acara pembacaan sajak bertajuk Gua Cakap Sama Lu…Siapa Kata Puisi Boring? di Esplanade Singapura.
  • [8]   Penggunaan bahasa pengantar para penyiar tiga radio ini bisa menjadi ilustrasi menarik perkembangan bahasa Betawi ragam lisan. Bahasa Jakarta Modern yang dimaksud Grijns adalah bahasa yang digunakan kebanyakan digunakan di Radio Prambors. Sementara bahasa Betawi Kota (yang berusaha modern) biasa dipakai oleh para penyiar Bens Radio. Meski ada juga variasinya, antara Sosha Ramadhan dan Jumala dengan Pandi Baskara dan Damar Badud. Sementara bahasa pengantar para penyiar Radio Ramega, Radio Ron, dan radio gelombang AM lainnya di Tangerang mewakili bahasa Betawi Ora.
Pencarian Berdasarkan Kata Kuncihttps://www kebudayaanbetawi com/2527/dan-kita-bertahan-sejadi-jadinya/

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *