kebudayaan betwai – Rumah susun (Rusun) mempunyai imej tertentu yang tak selalu positif. Walau sebenarnya projek ini ditampilkan untuk mengatasi poblema pemukiman yang dihadapi rakyat. Film Cintaku Di Rumah Susun, karya cineast tersohor Nya Abas Acub tahun 1980-an merupakan ungkapan satire atas proyek Rusun yang tak punya akar pada tradisi rumah kita.
Tak dapat dipungkiri, rumah susun memang sangat potensial bagi timbulnya konflik. Penghuni di sini sangat majemuk. Mulai dari beragamnya etnis, agama, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, bahkan bentuk fisik bangunannya. Orang luar terkadang melihat rusun dengan rasa was-was. Bagaimana hidup dengan rumah yang relatif sempit, suara beragam radio atau televisi yang keras tak pernah putus. Kemudian bagaimana harus bermain, mengasuh anak, tempat belajar anak, tempat bermain anak, keinginan memiliki barang mewah, bersaing dalam penampilan, pola makan, naik turun tangga, dan lain sebagainya. Begitulah rasa khawatir kita, karena kita memang terlatih khawatir bahkan pada sesuatu yang belum kita ketahui duduk soalnya.
Memasuki lingkungan Rusun berarti memasuki lingkungan hidup masyarakat sederhana dan ramah. Kesederhanaan dapat dilihat dari perabot rumah tangga dan penampilan penghuni. Penghuni di sini sangat ramah dan bersahabat dengan orang dari luar. Begitulah kesan pertama yang saya rasakan ketika berkunjung ke rumah susun di Klender, Pasar Jum’at, dan Kebon Kacang. Sayang sekaliRusun di Rawa Bilal, Tebet, sudah dihancurkan padahal konon inilah salah satu rumah susun Bantuan Presiden (Banpres), khusus untuk pengrajin (industri kecil). Dari beberapa penghuni yang kami temui profesi mereka kebanyakan pegawai negeri sipil dan wiraswasta dengan tingkat pendidikan rata-rata SMU.
Dilihat dari raut wajah penghuni rumah susun, mereka terkesan kerasan dan senang tinggal di Rusun, meski pada awalnya tinggal di sini merupakan alternatif terakhir setelah tak dapat rumah jenis lain. Dengan kata lain daripada tak punya rumah atau ngontrak terus-menerus, jauh lebih baik memiliki Rusun. Rasa was-was memang sempat muncul ketika baru tinggal di rusun. Apakah akan betah, begitu pikir mereka. Rasa was-was hilang karena ternyata semua fasilitas disediakan dengan baik.
Rumah susun Tanah Abang terletak di Jalan K.H. Mas Mansur, Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bata-bata merah yang tersusun apik, dengan kombinasi warna beton yang keabu-abuan, mengundang kesan rapi dan nyaman. Proyek Rusun di sini diresmikan tahun 1983, terdiri dari 60 blok yang masing-masing terdiri dari 16 unit tipe F-36 A dan F-36 B, empat susun tanpa lift. Seluruhnya berjumlah 600 unit. Pembangunan rumah susun di sini dilengkapi dengan prasarana seperti jalan aspal, jalan setapak, saluran pembuangan air hujan, air kotor, instalasi air minum (PAM), penyediaan gas dari PN gas, dan fasilitas pertamanan. Pemeliharaan dan penjagaan kebersihan dalam lingkungan dikelola oleh sebuah kantor khusus. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan pengelola tampak cukup ditaati oleh penghuni sehingga lingkungan tampak cukup bersih dan teratur. Taman-taman di sekitar blok Rusun ditanami bersama, sehingga taman bukan milik lantai bawah saja. Di tengah-tengah kompleks rumah susun ada plaza ibu-ibu mengasuh anak sebelum sekolah dan sore hari digunakan sebagai sarana bermain anak-anak dan remaja olah raga. Penghuni di sini suatu saat pernah resah karena lokasi rumah susun akan diambil-alih oleh investor swasta untuk dijadikan perkantoran dan pusat perbelanjaan mewah.
Dulu di lokasi rusun ini hanya perkampungan kumuh di pusat kota. Maka Pemerintah Daerah membangun Rusun agar kualitas hidup masyarakat di sini bisa lebih baik. Setelah dibangun rumah susun, penghuni – khususnya ibu-ibu – sangat berterima kasih kepada Pemda karena mereka dibuatkan rumah susun. Ibu-ibu di sini mengaku sebelumnya mereka tinggal di lingkungan kumuh, jorok, kebanjiran, tak ada listrik dan fasilitas lainnya. Tapi setelah lingkungan mereka dibangun Rusun suasananya menjadi indah dan nikmat. Karena sangat indah dan nikmatnya memanfaatkan fasilitas rumah susun, beberapa penghuni yang sudah memiliki rumah pribadi di luar masih tetap tinggal di Rusun sementara rumahnya yang lain dikontrakan. Atau sebaliknya. Apapun akal-akalan penghuni agaknya sah-sah saja sebab belum ada aturan untuk mengatur persoalan demikian.
Tinggal dan hidup di rumah susun betapapun besar potensi konflik antar penghuni, ternyata potensi itu tak pernah jadi masalah. Di sini dinamika adaptasi begitu cepat berlangsung. Masalah sara tidak menjadi soal. Semua penghuni berusaha membuka diri sejelas-jelasnya dan memeluk tetangga seerat-eratnya. Semua merasa sepenangung dan sependeritaan.
Memang secara fisik ada kelemahan rumah susun. Antara lain, hubungan dengan ruang luar hanya dapat dilakukan melalui satu pintu saja dan hubungan terjadi kalau pintu dibuka. Batas-batas ruang terbuat dari tembok yang padat sehingga dinding-dinding yang terkesan kokoh dan tertutup itu dirasakan mengurung. Tidak dirancangnya ruang terbuka, halaman dan pintu belakang, benar-benar menyebabkan para ibu tak dapat melakukan kegiatan rumah tangga sambil mengasuh anak, bercengkerama dengan tetangga. Berbagai kegiatan tersebut terpaksa dilakukan secara terpisah. Ini benar-benar tidak efisien. Namun, apa mau dikata man-land ratio kita makin menyempit (Yahya Andi Saputra).