kebudayaan betawi – Pindah rumah bagi orang Betawi memiliki arti khusus dan strategis. Rumah bukan hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari gempuran musim yang tidak ramah, namun lebih dari itu ia adalah tempat menyemai benih menciptakan generasi mendatang yang kokoh lahir batin. Itulah sebabnya pinde rume ini kudu disiapin semateng-matengnye. Persiapan itu membutuhkan tersedianya dana dan melibatkan seluruh tetangga, tokoh masyarakat, alim ulama, grup kesenian, bahkan pawang hujan.
Pinde Rume Tradisi Betawi. Alkisah diceritakan keluarga Mugeni akan pindah rumah. Mugeni termasuk salah seorang yang dihormati di lingkungannya. Mengetahui Mugeni bakal pindah rumah, banyak tetangga berdatangan membantu mengepak barang-barang yang bakal dibawa ke rumah baru. Mugeni gembira. Pas hari yang ditentuin dia berpamitan dan minta maaf kepada semua tetangganya. Dalam tradisi masyarakat Betawi pindah rumah ini diawali dengan pembacaan shalawat dustur, biasanya dibaca oleh guru ngaji atau qori yang diminta. Pembacaan shalawat ini di depan pintu. Setelah pembacaan shalawat, Mugeni membaca Bismillah 3 kali. Setelah itu Mugeni mengambil tanah dari halaman rumah lama dan dibungkus dengan kain putih. Bagi orang Betawi tanah punya arti amat penting, karena di dalam tanah di dekat cericipan atau di bawah tempat tidur ditanam ari-ari dari anak yang dilahirkan. Itulah yang mengikat orang Betawi tehadap tanahnya.
Setelah itu mugeni meninggalkan rumah lama diiringi shalawat dan rebana ketimpring. Alat-alat rumah tangga yang dibawa adalah :
- Bagi orang Betawi pendaringan amat penting artinya meski bukan yang utama. Pendaringan digunakan untuk menyimpan beras. Dulu orang Betawi punya pantangan untuk melihat atau melongok langsung ke dalam pendaringan, meski maksudnya baik yaitu untuk memastikan apakan beras masih cukup untuk tiga hari atau tidak. Sebab jika sering dilongok, isi pendaringan cepet abis.
- Lampu gembreng. Ini memiliki makna penerangan. Orang Betawi sebagian besar sangat agamis. Lampu gembreng ditamsilkan sebagai penerangan hati dalam mempelajari segala macam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Dengan mempelajari agama Islam, orang Betawi dapat menyeimbangkan hidupnya, sehingga tidak kehilangan pegangan atau salah langkah dalam kehidupan.
- Tempayan atau kendi berisi air. Air adalah lambang kehidupan bagi makhluk yang ada di alam ini. Dulu orang Betawi meletakkan tempayan atau kendi di depan rumahnya. Maksudnya disediakan untuk musyafir yang lewat agar bisa minum atau sekadar mencuci muka atau kakinya. Orang Betawi tidak mau melihat orang lain kehausan. Ini juga tanda kepedulian kepada sesama. Orang Betawi selalu gairah dan optimis tapi juga tidak sombong dalam menjalani kehidupan ini, seperti halnya sifat air yang mengalir tanpa henti membasahi tempat-tempat yang lebih rendah.
- Bumbu dapur. Hidup diumpamakan seperti rasa bumbu dapur; ada asem, asin, manis, pahit, pedes dan sebagainya. Dengan bumbu dapur orang Betawi memandang dirinya sebagai orang yang mandiri. Dia juga menyadari tidak hidup sendirian, tapi beraneka ragam suku bangsa seperti layaknya keragaman bumbu dapur.
- Kaca. Ini melambangkan kerendahan hati orang Betawi. Dimanapun berada orang Betawi mampu menempatkan dirinya pada posisinya yang tidak bersinggungan dengan orang lain. Sebelum mengeritik orang dia terlebih dahulu melihat atau ngaca siapa dirinya sebenarnya. Berkaca dan berkacalah sebelum salah melangkah. Itulah makna filosofisnya.
- Tempat sirih lengkap. Ini juga tidak kalah pentingnya dengan barang lain. Di tempat sirih disimpan daun sirih, kapur sirih, gambir, tembako, kapol, dan lain-lain. Sirih lengkap bukan hanya untuk dimakan tapi untuk pengobatan.
Pinde Rume Tradisi Betawi. Sesampainya di rumah baru, Mugeni langsung menebarkan tanah ke sekeliling rumah sambil membaca bismillah. Ini maksudnya supaya atmosfir rumah dan tanah rumah yang lama (rumah yang ditinggalkan) tetap terpelihara di rumah yang baru. Ini artinya juga agar seluruh anggota keluarga betah mendiami rumah baru sebagaimana mereka betah tinggal di rumah lama. Diharapkan kebiasaan baik yang dilakukan di rumah lama seperti membaca Qur’an, shalat berjamaah, ikut terbawa ke dalam rumah baru dan harus lebih ditingkatkan lagi.
Pinde Rume Tradisi Betawi. Beberapa hari kemudian (tiga hari) Mugeni mengundang tetangga dan tokoh masyarakat di lingkungan rumah baru untuk mengadakan selametan (tahlilan) atau merowahan. Dalam merowahan ini dimulai dengan membaca surah Al-Baqarah, dilanjutkan dengan zikir-tahlil, pembacaan maulid Nabi, ceramah agama, dan ditutup dengan doa.
Acara merowahan ini diakhiri dengan makan bersama. Biasanya disediakan nasi kebuli atau nasi uduk dan kue-kue Betawi asli. Ketika tetamu pulang diberikan bungkusan nasi berkat.