kebudayaan betawi – Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Budaya yang melekat dalam masyarakat Betawi baik benda maupun takbenda memiliki tali sinambung dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Budaya sebagai implementasi dari suatu pola pemikiran, tata-laku dan acuan tindakan yang memberikan warna identitas suatu kelompok masyarakat, dalam perjalanan waktu mengalami dinamisasi. Perubahan budaya masyarakat tidak dapat dihindarkan. Adakalanya perubahan itu bersifat mendasar tetapi adakalanya terjadi perubahan yang berupa penyempurnaan dari suatu pola budaya yang berlangsung. Masyarakat Melayu Betawi “Kalapa” yang telah sepanjang sejarah mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan mendasar maupun perubahan yang bersifat penyempurnaan.
Akar Keberagamaan Masyarakat Melayu Betawi hingga abad ke-12 Masehi menganut kepercayaan animisme/dinamisme. Mereka hidup mengelompok dari suatu pemukiman dan berinteraksi satu sama lain. Mulai abad ke-13 Masehi mulai meninggalkan kepercayaan animisme dan berpindah menjadi pemeluk agama Islam yang disebarkan oleh para pendakwah yang datang ke Bandar Kalapa.
Mengacu kepada unsur kebudayaan universal yang meliputi : religi, kekerabatan, mata pencaharian (perekonomian), bahasa, pengetahuan (teknologi), sosial, dan kesenian; dapat ditelusuri kesinambungannya sepanjang kurun abad ke-9 atau abad ke-10 Masehi sampai dewasa ini. Kesinambungan budaya itu memiliki karakteristik tersendiri.
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Sepanjang sejarahnya masyarakat Betawi yang mendiami kawasan Bandar Kalapa sejak abad ke-2 Masehi sampai dewasa ini telah mengalami beberapa kali perubahan pola budaya religi. Pada masa prasejarah budaya religi yang dianut adalah animism/dinamisme, dimana mereka menganut kepercayaan animism/dinamisme. Dalam praktik kehidupan masyarakat, budaya religi dominan sebagai acuan dimana masyarakat melakukan upacara-upacara yang berkaitan erat dengan siklus kehidupan maupan upacara-upacara kehidupan kelompok. Di antara upacara itu adalah ritus dengan media sesajen untuk keselamatan pribadi, keluarga maupun kelompok; penyelenggaraan sesajen untuk kepentingan kegiatan tertentu seperti kegiatan pertanian agar memperoleh kelimpahan hasil, kepentingan pertunjukan agar berjalan mulus, dan lainnya.
Budaya religi juga mempengaruhi pola berpikir, bertindak dan berinteraksi sosial, dimana orientasi selalu bermuara kepada rambu-rambu kepercayaan tentang apa yang patut dilakukan dan tidak patut dilakukan.
Ketika wilayah Jakarta dan sekitarnya di bawah kekuasaan penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran yang menganut kepercayaan Hindu, unsur-unsur religi agama Hindu diadopsi oleh sebagian masyarakat yang lokasi pemukimannya berada dekat dengan pusat kekuasan Kerajaan Sunda dan aparatnya; sementara masyarakat Melayu Betawi yang lokasi pemukimannya jauh dari jangkauan aparat penguasa Kerajaan Sunda, tetap mempertahankan kepercayaan animismenya.
Pada saat kekuasaan Kerajaan Sunda masih berkibar, sebagian masyarakat Betawi justru beralih menjadi penganut agama Islam. Penyebaran agama Islam dilakukan oleh para saudagar muslim yang berdagang di pelabuhan Kalapa, dimana sebagian dari pedagang muslim tersebut keluar-masuk kampung untuk berdagang sekaligus berdakwah.
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Sejak abad ke-13 dan seterusnya masyarakat Betawi menjadi penganut agama Islam secara massip. Peralihan anutan dari animism/dinamisme kepada Islam dimungkinkan karena intensitas dakwah yang disampaikan oleh para pendakwahnya menjangkau seluruh pelosok pemukiaman masyarakat Melayu Betawi. Selain isyu sifat ajaran Islam yang mengajarkan jiwa merdeka,tidak menjadi hamba kepada seiapapun kecuali menghambakan diri kepada Allah, sangat sesuai dengan watak masyarakat Melayu Betawi yang sejak abad ke-9 atau ke-10 memiliki budaya immaterial berupa jiwa yang merdeka (egaliter, terbuka, bersaudara).
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Ketika VOC menanamkan kekuasaan sejak 30 Mei 1619 dan diteruskan oleh Pemerintah boneka Perancis melauli Herman Whillem Deandeles maupun pemerintah Britania melalui Sir Thomas Stamford Raffles serta Pemerintahan Hindia Belanda sampai 8 Maret 1942 saat Militer dan birokrasinya lari tunggang langgang meninggalkan Batavia karena gempuran kilat balatentara Dai-Nippon, masyarakat Betawi tegar mempertahankan keyakinannya sebagai penganut agama Islam, tidak terpengaruh utnuk beralih agama.
Sejak hadirnya saudagar muslim yang sekaligus berperan sebagai pendakwah di pelabuhan Sunda Kalapa pada abad ke-15, masyarakat Melayu Betawi yang menganut agama Islam hanya mengenal satu istilah “sekali menjadi Islam selamanya tetap Islam, lahir sebagai muslim dan mati sebagai muslim”. Budaya religi demikian tetap dipertanahankan sampai dewasa ini. Bagi masyarakat Betawi apakah hidup dalam kondisi kekurangan harta benda maupun dalam kelebihan harta benda, tidaklah mempengaruhi dasar keyakinan terhadap agama Islam sebagai agama yang haq dan mulia (ya’lu wala yu’la alaihi).
Dalam praktik kehidupan, budaya religi masyarakat Melayu Betawi sangat mengental dengan acuan keislaman. Memang diakui adanya sisa-sisa budaya religi animisme/dinamisme yang masih melekat pada sementara masyarakat Betawi di dalam pelaksanaan aktivitas tertentu. Hal ini disebabkan mengendornya aktivitas dakwah, atau akibat dari strategi dakwah yang dikembangkan oleh pedakwan Islam dengan mengacu kepada Quran untuk menyeru manusia dengan lembut dan hikmat, tidak memaksakan kehendak agama.
Terlepas dari mana yang didahulukan, yang jelas masyarakat Melayu Betawi tidak akan menukarkan kepercayaan untuk sesuatu yang lain, sekalipun harus mati karena mempertahankan pengakuannya sebagai orang Islam, mereka ikhlas. Inilah budaya religi yang bertahan dan terus berkesinambungan dari masyarakat Betawi generasi abad ke-15 sampai akhir abad ke-21 kini dan terus sampai kiamat.
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Dalam penerapan kesehariannya, budaya religi Islam menjadi dominan dalam acuan bertindak. Dalam kegiatan rites de passage (siklus kehidupan) mulai dari janin (calon bayi), saat lahir menjelang baligh, pernikahan, masuk ke liang lahat, dipandu oleh budaya Islam. Meskipun masih terdapat penyelipan unsur-unsur budaya religi animisme/dinamisme pada sementara masyarakat Betawi, seperti membakar menyan (setanggi, dupa) tetapi hakekatnya bukan menuju kepada kekuatan gaib. Melainkan diniatkan untuk pengharum ruangan.
Adanya sisa-sisa unsur budaya animisme/dinamisme dalam pola berpikir, praktik ritual nonprinsip, adalah akibat dari berhentinya proses belajar beragama, padahal belajar beragama dalam Islam, ditetapkan sejak dari buaian ibu (termasuk sejak dalam rahim ibu) hingga masuk ke liang lahat, khususnya belajar tentang ketauhidan.
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Adanya rambu-rambu fiqh tentang batas wajib, sunat, haram, makruh & mubah atau bahasa ekstrim antara yang Fiqh dengan bathil, antara yang halal dengan haram, telah menempatkan sosok masyarakat Melayu Betawi sebagai masyarakat yang memiliki komitmen moral yang kuat atau dalam bahasa Islamnya adalah memiliki tingkat akhlakul-karimah dibandingkan misalnya dengan masyarakat lainnya yang masih terdapat kecenderungan memperadukkan antara yang haq dan bathil. Dalam cotnoh transparan tentang budaya religi dalam penerapannya, wanita-wanita Betawi tidak didapati mereka yang bersedia menerjunkan diri menjadi pelacur (wanita tuna susila) sekalipun kehidupan pribadi maupun keluarganya dalam kelompok di bawah garis kemiskinan; bahkan lebih memilih untuk mati bilamana ada pihak yang ingin memaksakan ke arah tersebut.
Budaya keislaman yang kuat telah melahirkan pilihan untuk bertindak-praktis meskipun dalam penelitian masyarakat lainnya (non-Betawi) sebagai tindakan yang kurang tepat. Bagi masyarakat Betawi, pegi haji atau menunaikan ibadah haji ke Baitullah pada bulan Dzulhijjah adalah prioritas utama. Meskipun harus menjual tanah bukanlah masalah yang mesti diperdebatkan. Apalah arti sebidang tanah dibandingkan dengan kemuliaan di sisi Allah karena kesediaan memenuhi panggilan Allah yang diamanatkan melalui Nabi Ibrahim AS. Ini diyakini adalah investasi tinggi dengan ganjaran 700 kali lipat dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, masyarakat Betawi memiliki visa masa depan yang sophisticated (cerdas cergas). Bukankah seseorang yang masuk liang lahat tidak dapat membawa seluruh hartanya guna menjadi garantie (jaminan) pada malaikat agar bebas dari pertanyaan kubur tentang kemanakah harta dibelanjakan selama di dunia.
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Budaya religi yang kuat juga telah menanamkan sikap antipasti mendalam pada masyarakat Betawi terhadap penjajah, penguasa VOC kemudian Hindia Belanda yang telah mencapkan kekuasaannya di atas tanah milik masyarakat Betawi berabad-abad. Jika masyarakat Betawi menolak masukkan anak-anak mereka anak ke sekolah Hindia Belanda, atau lebih suka menyuruh anak mengaji dan masuk sekolah-sekolah berlabel Islam dibandingkan sekolah-sekolah umum adalah karena tingkat kekuatiran yang tinggi terhadap hilangnya peluang kesinambungan budaya religi. Bilamana tindakan itu dinilai sumbang, tokh nyatanya masyarakat Betawi sampai saat ini tidaklah tertinggal dibandingkan masyarakat lainnya di Nusantara. Apakah ukurannya tentang kemajuan atau ketertinggalan suatu masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, posisi jabatan yang sentral, kekayaan materi yang melimpah, maka masyarakat otomatis masuk kategori masyarakat yang maju? Konon pula mereka tinggal menetap di Jakarta sementara tanah tumpah darahnya (kampung halamannya) tetap tak berubah; sementara masyarakat Betawi hidup dan menetap di kawasan yang tiap hari berubah (metropolitan super modern). Jakarta yang terus berubah wajahnya dari suatu Kampung Besar menuju kota Megapolitan sejajar dengan kota-kota besar lainnya di mancanegara, dapat menikmati semua fasilitas yang berlabel kemajuan, dimana masyarakat lainnya belum tentu memperoleh kesempatan yang sama.
Akar Keberagamaan Masyarakat Betawi. Kesinambungan budaya religi yang melekat dalam diri masyarakat Betawi, telah mengantarkan langkah mereka untuk menghadiri majelis taklim secara rutin, khususnya para wanita. Kondisi ini secara langsung atau tidak langsung menstabilkan pola pikir dan pola tindak mereka dalam menghadapi persaingan hidup, tidak terjebak kepada keruntuhan akhlakul karimah dengan menghalalkan cara (tidak peduli haram-halal, haq-bathil) dalam pencapaian keinginan. Sepanjang sejarahnya masyarakat Betawi belum ada yang menerjunkan diri menjadi pengemis di jalan-jalan Kota Jakarta. Dalam pengajian majelis taklim mereka diajarkan yadul ulya khairun min yadis sufla, agar tangan mereka selalu di atas (memberi) bukan di bawah (mengemis).
Budaya religi juga telah memapankan karakteristik masyarakat Betawi untuk menolak melakukan penghambaan kepada manusia, dengan bahasa ekstrim masyarakat Betawi sangat enggan melakukan penjilatan untuk pencapaian keinginan. Di majelis taklim masyarakat Betawi terbiasa mencium telapak tangan muallim, guru, kyai adalah karena anjuran untuk menghargai, menghormati, dan memuliakan alim-ulama yang telah bersusah payah membimbing rohani mereka. Anak-anak dianjurkan untuk mencium tangan orangtua mereka yang lebih tua.
Secara umum kesinambungan budaya religi dalam masyarakat Betawi terus berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, dan budaya religi memperoleh tempat tertinggi sebagai term of reference (kerangka acuan) berpikir ataupun tindakan dalam masyarakat Betawi.
Sekian. Wallahu ‘alam bissawab.