kebudayaan betawi – Alam Kematian .Kullu nafsin dzaaikatul maut, setiap mahluk yang bernyawa pasti akan sampai pada kematian. Begitu bunyi potongan salah satu ayat kitab suci Al-Qur’an. Kematian adalah sesuatu yang pasti akan datang bagi semua mahluk hidup. Orang Betawi meyakini benar bahwa alam kematian atau alam barzah merupakan kelanjutan dari hidup di alam dunia. Oleh karenanya orang yang masih hidup masih terus dapat melakukan komunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Komunikasi ini didasari hadis Nabi yang potongan bunyinya adalah : anak yang shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Doa di sini merupakan salah satu jenis komunikasi antara orang yang hidup dengan orang yang sudah meninggal.
Alam Kematian, Jika ada orang yang meninggal, biasanya pengurus masjid atau musholla akan mengumumkannya melalui pengeras suara. Jaman dulu informasi kematian ini dilakukan dengan menabuh/memukul bedug. Warga yang mendengar berita atau suara tabuhan itu segera datang melayat bahasa Betawinya ngelawad. Para pelayat itu mendoakan si mayat dengan macam-macam bacaan. Ada yang membaca surat Al-Ihlas, ada yang berzikir dan tahlil, ada juga yang membaca surat Yasin. Jika pelayat itu mempunyai waktu luang, ia akan membaca Qur’an sampai si mayat akan dimandikan. Selain itu para pelayat juga akan memberikan uang selawat yang dimasukkan ke dalam tempat-tempat yang telah disediakan. Biasanya baskom yang ditutupi taplak meja.
Alam Kematian, Sebelum shalat janazah dilakukan, ketika jenazah sedang dimandikan diselenggarakan upacara bagi fidiyah atau pudie bertempat di masjid/musholla. Pudie ini merupakan syariat Islam yang wajib dilaksanakan, sesuai bunyi perintah Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Tirmizi : siapa yang meninggal dunia dan baginya masih mempunyai qada Ramadhan yang belum dibayar, maka wajib tiap satu hari memberi makan satu orang miskin. Bagi fidiyah adalah pembagian beras kepada fakir miskin dengan jumlah takaran tertentu. Seseorang yang meninggal dapat dipastikan pernah melalaikan kewajibannya terutama ibadah shalat. Kelalaian itu belum sempat dibayar atau diqada, yang bersangkutan sudah meninggal. Itulah sebabnya dilaksanakan bagi fidiyah dengan tujuan membayar ibadah wajib yang ditinggalkan. Jadi pudie dalam pengertian orang Betawi adalah beras atau bahan makanan yang dikeluarkan untuk menebus kekurangan-kekurangan (tentang ibadat dan sebagainya) yang diperbuat oleh orang yang baru saja meninggal.
Alam Kematian, Pelaksanaan bagi fidiyah dipimpin oleh kyai senior setempat. Pihak keluarga janazah menyerahkan perwakilan kepada kyai dengan mengucapkan ijab-kabul. “Saya punya beras 300 mud saya jadikan fidiyah puasanya si fulan karena ia meninggalkan puasa 300 hari (kalau shalat berarti 300 waktu) serta mudnya, saya wakilkan kepada Bapak Kyai.” Kyai menerima penyerahan itu. Maka kyai yang menjadi wakil shohibul janazah memimpin upacara dengan lebih dahulu menjelaskan maksud pelaksanaan fidiyah. Diucapkan dengan jelas bahwa diretima sekian mud (mungkin sama dengan ukuran satu liter) beras sebagai pembayar qada puasa dan shalat yang sekian hari atau waktu telah ditinggalkan oleh si mayat. Posisi jamaah yang berada di dalam masjid saling berhadapan dan nanti tiap posisi akan menjadi wali dan saksi. Beras diletakkan di tengah-tengah jamaah. Bila kyai mengucapkan “Beras ini ada 300 mud saya jadikan fidiyah qada puasanya si fulan selama 300 hari, saya terima sebagai wakilnya dan saya wakilkan kembali kepada jamaah yang berada di sebelah beletan ngadep ke bekulon.” Jamaah menjawab “Saya terima wakilnya dan saya wakilkan kembali.” Setelah jamaah mengucapkan kalimat itu beras diangkat setinggi betis tiga kali berturut-turut. Begitu seterusnya sampai seluruh jamaah yang berada di empat arah (timur, barat, utara, selatan yang berhadap-hadapan itu) menerimanya. Setelah selesai dilanjutkan dengan tahlilan.
Alam Kematian, Untuk memandikan mayat, ada orang khusus yang memang pekerjaannya sebagai tukang mandiin orang mati. Tukang mandiin orang mati ini pula yang biasanya menyiapkan semua kebutuhan mandi dan membungkus mayat. Alat-alat kebutuhan mandi bagi mayat disebut bumbu yang dapat dibeli di pasar. Jika beli di pasar harus jelas menyebutnya, yaitu bumbu mayat. Jika cuma menyebut bumbu kita disodori bumbu masak. Bumbu ini – memang sudah diracik – terdiri dari kembang tujuh rupa, daun dadap diiris halus, daun pandan diiris halus, kayu cendana, kapur barus, dan air mawar. Tukang mandiin orang mati biasanya sudah hafal surat Yasien dan Al-Mulk. Sepanjang memandikan janazah dia membaca kedua surat itu. Pertama-tama mayat diguyur dengan air biasa dan kemudian berturut-turut air daun dadap, air daun pandan, air kayu cendana, air kapur barus dan air mawar. Setelah itu tukang mandiin mengambilkan air wudhu bagi mayat. Selesai dimandikan, mayat dibungkus dengan kain kafan yang sudah dilengkapi dengan kapas, kembang tujuh rupa, dan kayu cendana halus (mungkin diparut). Biasanya kain kafan dibeli atau disediakan sebanyak 12 meter (untuk mayat dewasa all size) dan dari ukuran ini dibagi empat. Tiga potong (ditumpuk tiga lapis) untuk membungkus mayat dan yang sepotong dibuatkan semacam celana dan baju yang nanti akan dipakaikan kepada mayat. Sementara mayat dimandikan, beberapa orang mempersiapkan dinding ari dan nisan. Orang Betawi membuat dinding ari dari bahan (kayu/bambu) yang mudah dimakan rayap.
Alam Kematian, Selesai dibungkus dengan kain kafan, mayat dimasukkan ke dalam kurung batang dan dibawa ke masjid untuk dishalatkan. Penshalatan ini dilakukan di masjid atau musholla dengan mengundang alim ulama dan masyarakat sekitarnya yang sebelumnya telah mengikuti upacara bagi fidiyah sebagaimana telah diuraikan di atas. Selesai penshalatan dilakukan upacara pelepasan janazah yang disebut tasyhid. Tasyhid dimaksudkan sebagai penyaksian bagi si mayat bahwa dia benar-benar orang yang baik selama hidupnya.
Tasyhid dipimpin oleh ulama atau iman masjid senior yang memang benar-benar tahu dan menyaksikan perjalanan hidup si mayat. Dalam tasyhid itu imam akan bertanya kepada jamaah yang hadir sebagai berikut : “Saudara-saudara sekalian sekarang kita saksikan janazah di hadapan kita, maka saya bertanya apakah janazah ini termasuk orang yang ahli khair?” Maka dijawab oleh jamaah secara serentak “Khair…” Khair (bahasa Arab) artinya baik dalam makna seluas-luasnya. Pertanyaan seperti itu diulang tiga kali dan ditutup dengan doa bagi mayat.
Alam Kematian, Setelah itu dibawa ke pemakaman untuk dikuburkan. Di dalam kubur atau di liang lahat dan posisi mayat dimiringkan sudah mencium tanah ke arah kiblat akan diazankan dan diqamatkan. Sambil menguruk kubur, akan dibacakan talkin (di daerah pinggir disebut telekin). Semua kegiatan ini dikuti secara sukarela oleh para tetangga atau orang-orang yang mengenal si mayat. Hari penguburan mayat disebut juga hari turun tanah. Sementara itu kaum wanita terutama ibu-ibu yang dilarang mengikuti upacara penguburan sibuk menyiapkan konsumsi. Konsumsi yang disiapkan di hari turun tanah adalah nasi begane. Nanti setelah orang-orang yang ikut menguburkan pulang, disediakan konsumsi nasi begane. Nasi begane masih menjadi konsumsi utama setelah selesai tahlil pada malam harinya.
Alam Kematian, Dalam tradisi Betawi, penghotmatan kepada orang yang sudah meninggal diejawantahkan dalam bentuk beberapa upacara : tunggu kubur, tige ari, nuju ari, lima belas ari, seratus ari, dan haul.
Tunggu kubur adalah kebiasaan orang Betawi membaca Qur’an di kuburan atau di lokasi pekuburan orang yang baru meninggal. Ini dilaksanakan sejak malam pertama setelah upacara penguburan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dilakukan mulai magrib sampai subuh. Cara kedua dilakukan sehari penuh tanpa putus. Lama masa tunggu kubur sesuai dengan kemampuan keluarga yang meninggal. Apakah ia keluarga kaya atau keluarga biasa. Bisa hanya tiga hari, seminggu, dua minggu, atau 40 hari berturut-turut. Tunggu kubur dilaksanakan di lokasi wakap kuburan. Jika musim panas dilakukan di sisi kuburan si mayat dengan terlebih dahulu mendirikan plampang (tenda). Jika musim hujan dilakukan di musholla yang berada di lokasi tanah wakaf kuburan.
Alam Kematian, Bagi orang Betawi untuk melaksanakan tunggu kubur didahului dengan musyawarah keluarga. Dalam musyawarah itu ditentukan berapa hari akan dilaksanakan tunggu kubur dan meminta atau manggil rombongan pembaca Qur’an/pengaji dari mana saja. Jika kedua hal itu telah diputuskan, maka akan diundang perwakilan dari musholla/masjid di lingkungan keluarga si mayit. Misalnya tunggu kubur dilaksanakan selama 40 hari dan ada 5 kelompok musholla/ masjid. Dari jumlah itu tinggal ditentukan saja berapa hari masing-masing kelompok bertugas tunggu kubur (40 hari dibagi 5 kelompok sama dengan 8). Maka masing-masing kelompok mendapat tugas ngaji tunggu kubur selama 8 hari. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang disesuaikan dengan kemampuan fisik si pembaca. Kalau para pembaca masih pemula, satu rombongan bisa 6 sampai 8 orang.
Alam Kematian, Para pembaca Al-Qur’an ini biasanya adalah orang-orang yang pekerjaannya adalah mengaji atau memang mereka adalah guru ngaji. Dapat disebut ada kelompok profesi khusus untuk ini. Sebab untuk bisa bertahan membaca Al-Qur’an bersila selama lebih kurang 3 jam bukan sesuatu pekerjaan mudah, jika ia bukan orang yang sudah biasa melakukannya. Kalau sehari 24 jam dan rombongan tukang ngaji ada 4 orang, tinggal dibagi saja berapa jam setiap orang membaca Qur’an (24:4 = 6). Jadi tiap orang akan membaca Qur’an 3 jam pada malam hari dan 3 jama pada siang hari. Rombongan tukang ngaji ini tentu saja mendapat upah. Itu sebabnya mengapa mereka hanya terdiri dari kelompok kecil (yaitu 4 orang) saja tiap kelompok. Upah atau uang lelah itu akan dibagi rata (sama besar) di antara mereka.
Pada malam tunggu kubur biasanya diadakan juga tahlilan. Tahlilan dihadiri secara sukarela oleh tetangga sekitarnya dan dipimpim oleh ustaz atau kyai setempat. Umumnya tahlilan dimulai ba’da shalat Isya. Dulu tahlilan dilengkapi pula dengan pendupaan dan di depan kyai diletakkan segelas air putih yang dibawah tatakannya diselipkan amplop berisi uang untuk kyai yang meminpin tahlil. Pada malam-malam tertentu, seperti malam ke tiga (nige ari) malam ke tujuh (nuju ari), malam ke-15, malam ke-40 keluarga si mayat akan mengundang tetangga lebih banyak lagi dan mengundang juga penceramah untuk memberi nasehat keagamaan. Pada malam-malam itu disediakan konsumsi khusus. Nige ari disediakan dadar gule, nuju ari disediakan nasi biasa lengkap, malam lima belas disediakan ketupat sayur. Seperti biasa ketika jamaah pulang dibagikan nasi berkat.
Tradisi masyarakat Betawi mengenal pula apa yang disebut anak ambar. Ia adalah arwah/roh anak kecil yang sudah meninggal dunia dan sewaktu-waktu dapat menjelma. Karena karena itu ia harus dipelihara oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang. Dahulu ada yang merawat anak ambar ini dengan membuat kelambu kecil di dalam pangkeng sebagai tempat tidurnya. Pada malam-malam tertentu, terutama hari/malam kematiannya, akan disediakan sajen berupa pisang raja, telor ayam, dan air putih. Tetapi saat ini anak ambar tidak dikenal lagi oleh masyarakat Betawi.
Nuju ari, empat puluh ari, seratus ari, dan haul dilakukan dengan tujuan yang sama, yaitu membacakan doa-doa untuk si mayat. Nuju ari berarti peringatan tujuh hari wafatnya si fulan. Empat puluh ari berarti memperingati 40 hari wafatnya si fulan. Seratus ari artinya peringatan 100 hari wafatnya si fulan. Haul berarti peringatan setahun wafatnya si fulan bin fulan. Pada hari-hari itu, khususnya pada saat haul dilaksanakan pembacaan khatam Qur’an dan kadang-kadang dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Nabi. Itu sebabnya kegiatan haul terasa lebih besar gaungnya karena mengundang alim ulama dan kyai dari luar kampung untuk berceramah. Haul pada saat ini sering dimanfaatkan sebagai sarana atau dapat pula disamakan dengan tablig akbar, mengingat jumlah undangan dan kualitas penceramahnya. Namun pada hakekatnya upacara-upacara itu – sangat disadari oleh orang Betawi – sebagai salah satu nasehat kepada yang masih hidup. Keyakinan itu dilandasi sebuah hadis, Kafa bil mauti mauidzah, sesunggunya pada orang yang meninggal itu benar-benar terdapat nasihat. Bahwa orang hidup pasti akan mati. Maka sudah selayaknya segala tindakan dalam hidup harus selalu dalam jalur syariat Islam.