SARUNG DALAM EKSPRESI KESENIAN BETAWI (Bagian 2)– Ada sementara pandangan dari kalangan tertentu manakala mendiskusikan tatanilai tradisional, maka aktivis atau komunitas yang ngeriung pada lingkaran itu dikelompokkan pada koridor konservatif dan antimodernisasi. Mewacanakan dan membelèk (mendiskusikan dan mengkritisi) kearifan leluhur dicap berasik-masuk atau mencari kenikmatan tempo dulu yang beku, lapuk, jumud serta bukan dunia baru yang maju. Sesungguhnya, jika kita mempunyai empati dan simpati serta ikhlas merendah hati seraya tidak terjebak pada dikotomi kuno-modern, timur-barat, dan kampungan-kotaan, niscaya akan menyembul tatawarna cerah, meriah, dan indah penuh gairah. Menguar pula rasa mencintai, mengasihi, dan perbagi saling sompo (saling menopang) untuk tegak berdiri.
Allah Subhanahu Wataala menciptakan Nabi Adam Alaihissalam, tentu dengan tujuanNya sendiri. Tujuan itu dapat diketahui dan tertangkap dengan jelas oleh panca indra, tetapi ada pula yang sengaja ditutupiNya. Hal itu mengindikasikan bahwa mulai saat itu pulalah sarung sebagai pelengkap pakaian sudah dikenal, baik dalam kaitannya dengan bahan, teknik membuat, peralatan pendukung utamanya, dan model atau potongannya. Jika ayat Quran yang menyatakan, “Allah mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama (ilmu pengetahuan), kemudian Adam mendemontrasikan pengetahuan itu di hadapan seluruh malaikat (Albaqarah : 31)”, maka pada firman itu mencakupi pembelajaran dan estetika mengenai pernak-pernik berpakaian, karena berpakaian merupakan salah satu kebutuhan utama manusia.
Konon, berdasarkan hasil studi di sebuah universitas di Amerika Serikat, manusia sudah memakai sarung sebagai pakaian sejak 170.000 tahun lalu. Manusia modern mulai berpakaian sekitar 70.000 tahun sebelum bermigrasi ke daerah yang lebih tinggi dan beriklim lebih dingin. Migrasi itu sendiri terjadi kira-kira 100.000 tahun lalu.
Tentu saja terjadi proses panjang sehingga sarung benar-benar memperlihatkan fungsi dan performanya sebagaimana saat ini. Manusia sejak Nabi Adam tidak pernah berhenti mencari berbagai bahan pakaian dan teknik pembuatannya. Mereka memanfaatkan kulit pepohonan atau kulit hewan sebagai bahannya. Mereka pun menyesuaikan dengan alam dan pada gilirannya penggunaannya pun disesuaikan dengan fungsi dan status.
Terutama setelah mengenal tradisi menenun, manusia mulai memanfaatkan benang yang dipintal dari kapas, bulu domba, atau sutera untuk dijadikan kain. Kain ini kemudian dijadikan bahan dasar untuk berbagai kepentingan. ada yang dijadikan pakaian, sarung, perhiasan, dan sebagainya. Beragam jenis dan bentuk sarung digunakan manusia untuk melindungi atau menutup tubuhnya. Masyarakat Nusantara mengenal teknik pembuatan sarung dengan cara tradisional yaitu menenun. Pada zaman modern kini, kita kenal bahan sarung seperti katun, bulu binatang, linen, kulit samak, sifon, ryon, nilon, spindeks, wol, dan bahkan ditemukan bahan pakaian galian seperti hasil sulingan batu bara dan minyak bumi (poliester, polipropelen, polietilen), dengan proses pembuatan yang tidak terlalu lama dan lebih ekonomis. Hal ini jelas menegaskan bahwa teknologi canggih memberi andil besar pada dunia industri persarungan. bermunculan pabrik besar yang mampu menghasilkan jutaan kodi sarung dalam sehari. Maka muncul dan dikenallah profesi perancang mode, peragawan-peragawati, dan pengelola pameran adibusana nan kinclong. (Bersambung Bagian 3)