Sarung dan Ekspresi Kesenian Betawi (Bagian 4) – Dalam folklore dan kesenian Betawi pada umumnya, sarung dimanfaatkan dan dieksplorasi sedemikian rupa sehingga sarung menjadi properti sangat penting dalam tiap pertunjukan. Folklore atau cerita rakyat Betawi menampilkan tokoh — protagonis maupun antagonis — yang sangat akrab menggunakan sarung. Tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Singa Betina dari Marunda, Mutado Macan Kemayoran, Bang Naman dari Kali Pasir, Si Angkri, Si Gobang, Nyai Dasima, Pendekar Sambuk Wasiat, Bang Melong, Pancoran Pangeran, Ayub dari Teluk Naga, dan lain sebagainya merupakan tokoh yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan sarung.
Pitung dalam cerita Si Pitung, misalnya, adalah tokoh alim, gagah, dan pemberani, yang dalam kesehariannya tidak lepas dengan sarung. Pitung yang gagah diceritakan menggunakan Baju Pangsi. Baju ini (baju atas dan celana) biasanya berwarna dasar gelap (saat ini pilihan warnanya sangat beragam : hitam, merah, kuning, hijau, hijau lumut, ungu, putih, abu-abu, merah bata, dan lain-lain sesuai selera pemakai) dipakai oleh lelaki Betawi pada saat mereka melaksanakan kegiatan sehari-harinya. Namun pakaian ini lebih dikenal sebagai busana kebesaran kalangan pesilat atau pendekar. Baju ini sebenarnya potongan atau model baju longgar tanpa leher terbelah pada bagian depannya, tidak berkancing dengan lengan lebar tidak samapi menutupi pergelangan tangan pemakaiannya dan di bagian depan bawah diberi dua kantong tempel di kiri dan kanan. Celana panjang berwarna sama dengan baju potongan lebar dan komprang (longgar) dilengkapi tali kur sebagai pengikat yang ukuran panjang tiga perempat betis.
Sarung dan Ekspresi Kesenian Betawi (Bagian 4). Pitung memakai Baju Pangsi ini dengan memakai daleman kaos oblong polos (putih atau warna serasi lainnya). Memakai ikat pinggang yang disebut gesper warna hijau (atau warna merah dan cokelat). Kelengkapan lain Baju Pangsi ini adalah kopiah hitam (sering juga warna merah) atau iket (selembar kain warna polos maupun bermotif batik) diikatkan sebagai penutup kepala dengan berbagai model iket (ada beberapa jenis iket antara lain :jengger ayam, tendet, berarak semplak, dan seser tengah). Biasanya kopiah dan iket menjadi tanda bagi asau-usul pesilat atau pendekar yang memakainya. Jika memakai kopiah berasal dari dari pesantren atau padepokan guru ngaji dan jika memakai iket adalah mereka yang menuntut ilmu bela diri dari guru-guru di luar pesantren. Aksesori yang juga dipakai untuk melengkapi Baju Pangsi adalah gelang akar bahar dan dibeberapa jari tanganya memakai cincin bermata batu akik (panca warna, kecubung, pandan, pirus dan lain-lain). Kelengkapan lainnya adalah pisau raut atau golok berukuran sedang diselipkan di pinggang atau menggantung, selembar kain sarung diselempangkan di leher (dulu lubang sarungnya disandangkan di pundak kiri dan dibiarkan jatuh bebas ke bagian kanan atau sebaliknya). Alas kakinya menggunakan terompah terbuka terbuat dari kulit.
Haji Naipin, dalam cerita Si Pitung, menggunakan Baju Sadariah dan kadang dipakai juga Jas Kaen Srebet. Baju ini tidak lain merupakan model atau potongan Baju Koko berleher tertutup dengan bahan polos atau bordir krancang dengan motif yang tidak feminim di depan dalam garis lurus dari bahu sampai ke ujung bawah depannya, termasuk ke dua kantong tempel di depan bawah baju yang warna dasarnya disesuaikan dengan kain sarung dan celana batiknya. Kain sarung yang dipakai atau diselempangkan digantungkan di leher adalah sarung plekat (umumnya motif motak-kotak). Fungsi sarung ini bermacam-macam. Ia berfungsi untuk sajadah di waktu salat, sebagai sarung jika celana bernajis, juga sebagai senjata jika menghadapi musuh.
Saat resmi, Haji Napin menggunakan pakaian Jas Kaen Srebet. Sesuai namanya, pakaian ini jelas menggunakan sarung sebagai salah satu pelengkap utamanya. Dalam cerita, Haji Naipin bertindak sebagai guru ngaji dan di saat lain menjadi penghulu dalam pernikahan Pitung. Pernikahan gagal karena Aisah diculik Tuan Demang dan dinodai. Aisah menghakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Sarung dan Ekspresi Kesenian Betawi (Bagian 4). Pada masyarakat Betawi, pakaian ini memang dipakai saat resmi. Mualim atau guru memakainya saat mengajar. Pakaian ini pun dikenakan oleh calon pengantin laki-laki pada saat hari pernikahan, khususnya saat menyatakan ijab dan kabul sebelum resepsi. saat resepsi biasanya pengantai laki-laki memakai Busana Kebesaran Penganten Care Haji.
Cerita rakyat lain seperti yang disebut di atas (Jampang Jago Betawi, Mirah Singa Betina dari Marunda, Mutado Macan Kemayoran, Bang Naman dari Kali Pasir, Si Angkri, Si Gobang, Nyai Dasima, Pendekar Sambuk Wasiat, Bang Melong, Pancoran Pangeran, Ayub dari Teluk Naga) baik dalam bentuk tulis atau yang sudah dialihwahanakan menjadi bentuk film dan sinema elektronika (sinetron) agaknya dapat memahami tata busana yang dibuatnya. Mereka memperlihatkan busana atau pakaian baik Baju Pangsi, Sadariah, maupun Jas Kaen Srebet sesuai dengan pakem, sehingga jelas terlihat ekspresi penggunaan sarung pada karyanya.
Dalam pertunjukan cerita rakyat yang dibawakan oleh kesenian Lenong, Topeng Betawi, Jinong, Jipeng, dan Tonil Samrah, sarung bukan hanya berfungsi sebagai pelengkap utama baju yang dipakai tokoh-tokoh cerita. Hampir semua personil pendukung pertunjukan yang tidak memerankan tokoh tertentu (pemain musik gambang kromong, tukang tarik layar, pelayan pemain, dan orang-orang di sekitar panggung lainnya) menggunakan sarung untuk melawan hembusan angin malam yang menusuk-nusuk sampai tulang. sebaba sebagaimana diketahui, kebiasan pertunjukan kesenian tradisional selalu berdurasi semalam suntuk (hampir sembilan jam). Maka sarung digunakan untuk menghangatkan tubuh.
Sudah tentu bagi para pendukung jenis kesenian Betawi lainnya pun, apabila mereka melakukan pertunjukan, maka seragam yang mereka pakai disesuaikan dengan sifat pertunjukannya. Jika mereka main dalam acara resmi, misalnya di Balai Kota, mereka memakai Jas Tutup Ujung Serong. tapi jika di ruang terbuka, seperti pada karnaval dan pawai, mereka memakai busana Sadariah. Dapat kita lihat pada kesenian Tanjidor, Ondel-Ondel, Gambang Kromong, Orkes Samrah, Orkes Gambus, Rebana Biang, Rebana Ketimpring, Rebana Hadroh, dan lain sebagainya. (Bersambung Bagian 5)