Oleh : Fadjriah Nurdiarsih
Bahasa Betawi Masih Terpinggirkan, Perlu Strategi dan Perhatian Pemerintah – Setiap kali bulan Oktober tiba, peringatan mengenai keanekaragaman bahasa dan sastra daerah di Indonesia menyeruak. Pementasan yang bersumber dari tradisi lisan juga seringkali diperkenalkan kepada khalayak, untuk memperlihatkan kekayaan dan keistimewaan segala sesuatu yang berasal dari rahim Bumi Pertiwi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemendikbudristek, melalui balai bahasa di tiap daerah, memiliki peran penting dalam hal ini.
Bahasa daerah, ungkapan, dan peribahasa merupakan warisan yang harus dijaga. Dalam bahasa daerah, terdapat warisan nilai budaya mengenai jati diri dan asal-usul si penutur bahasanya. UNESCO menyatakan, “Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga. Sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.”
Setiap pemerhati bahasa tentunya sudah paham akan pentingnya melestarikan bahasa ibu, dalam hal ini bahasa daerah. Namun, yang luput dari itu semua adalah belum adanya perhatian yang memadai terhadap upaya penelitian, pengembangan, dan revitalisasi bahasa Betawi. Salah satunya adalah dengan tidak adanya balai bahasa khusus bahasa Betawi—atau paling tidak katakanlah divisi khusus untuk “memperhatikan” bahasa Betawi.
Penelitian oleh Kay Ikranegara untuk disertasinya pada 1974 telah memperlihatkan bahwa bahasa Betawi seringkali dianggap sebagai bahasa Melayu rendah, karena dipergunakan oleh kelas bawah keturunan Jakarta, serta dianggap sebagai sebuah dialek yang tidak pernah dipergunakan dalam situasi formal, seperti pidato atau tulisan serius.
Bahkan hingga saat ini, bahasa Betawi tetap muncul dalam karya sastra bernuansa lokal, seni musik, maupun dalam seni pertunjukan. Bahasa Betawi juga mengalami perluasan wilayah geografis penuturnya, sehingga kini daerah yang dulu disebut pinggir Jakarta, telah menjadi pusat Jakarta.
Adapun penutur bahasa Betawi juga ditemukan di daerah-daerah di luar batas geografis Provinsi DKI Jakarta, seperti di Bogor, Depok, hingga Bekasi. Penelitian terdahulu memberi tahu kita bahwa memang sudah ada permukiman penutur bahasa Betawi di wilayah pinggir Kota Jakarta sejak akhir abad ke-20. Meski demikian, menarik mencermati adanya perbedaan subdialek atau logat antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kata bagen misalnya, cukup popular dipakai di Bekasi, tapi nyatanya tidak dikenal di Pasar Minggu. Di lain pihak, penutur bahasa Betawi di Depok rupanya terpengaruh bahasa Sunda, misalnya dikenal ada ungkapan, diem bae. Pemetaan-pemetaan ini harus dilakukan dengan serius, sebab bisa jadi perbedaan logat seperti yang telah dicatat oleh Abdul Chaer pada 2002 (lihat Folklor Betawi) kini telah mengalami perubahan.
Maka, siapakah yang lebih berkewajiban mengembangkan dan membina bahasa Betawi? Apakah Balai Bahasa Jawa Barat atau Badan Bahasa Pusat yang berkedudukan di DKI Jakarta. Apalagi kini bahasa Betawi rupanya lebih dominan di Depok dan Bekasi, yang secara historis dan kultur lebih dekat dengan DKI Jakarta. Kepada siapakah seharusnya tugas pembinaan dan pengembangan bahasa Betawi dibebankan? Pertanyaan ini harus dipikirkan dalam-dalam jawabannya.
Di lain pihak, stigma bahasa rendahan itu tampaknya tidak juga pudar hingga puluhan tahun berlalu setelah penelitian Kay Ikranegara. Pengunaan kata sapaan lu dan gue seringkali dianggap sebagai “kasar” atau “tidak sopan”. Sementara sapaan abang dianggap berkontasi merendahkan dan ditujukan hanya kepada para pedagang kaki lima.
Stigma itu muncul akibat terus-menerusnya masyarakat Betawi terpinggirkan akibat dampak politik dan pembangunan yang masif di Jakarta. Sejauh itu, industri media dan sinema juga tak memberi ruang yang cukup bagi Betawi untuk tampak seperti diri mereka yang sesungguhnya. Maka Betawi tampak liyan alias terasing, di luar arena.
Contoh lainnya, dialek Betawi yang muncul dalam unggahan video ataupun akun-akun IG yang viral hingga saat seolah-olah tampak sebagai lucu-lucuan saja. Ungkapan seperti berak sekebon, seperti belum tahu kentut busuk yang dilontarkan seseorang di akun media sosial dengan segera dilabeli sebagai jorok, padahal maknanya sangat biasa saja dan memang ada nilai filosofinya dalam ungkapan itu. Yang harus dipahami justru adalah, kenapa nenek moyang kita menggunakan istilah-istilah untuk mengambarkan situasi yang mengecam kebohongan dengan seperti berak sekebon atau menggambarkan orang yang belum tahu kehidupan yang sesungguhnya dengan seperti belum tahu kentut busuk.
Bahasa Betawi Masih Terpinggirkan, Perlu Strategi dan Perhatian Pemerintah. Penelitian mengenai bahasa Betawi sejauh ini masih berjalan sendiri dan tanpa perencanaan. Kamus Bahasa Betawi Depok dan Kamus Bahasa Betawi Bekasi telah terbit, masing-masing oleh Nuroji dan Abdul Khoir, timbul dari semangat putra daerah untuk menjaga bahasa ibunya sendiri. Perlu peran serta akademisi kampus untuk turun tangan. Hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan pengabdian masyarakat, yang hasil akhirnya adalah buku. Bahasa kreol Tugu yang dipakai oleh orang-orang Tugu di Jakarta Utara masih belum diteliti secara memadai, padahal bahasa ini hampir punah (atau mungkin sudah punah?).
Jika semangat melestarikan bahasa daerah memang penting, seharusnya pemerintah memfasilitasi berdirinya Balai Bahasa Betawi di Provinsi DKI Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbudristek bisa menggandeng para budayawan, akademisi, maupun masyarakat Betawi. Dengan demikian, masyarakat Betawi sebagai bagian dari bangsa Indonesia mampu mempertahankan identitas, jati dirinya dan rasa kebanggaan terhadap budayanya sendiri.
Di lain pihak, bahasa Betawi juga bisa dipelajari dan disosialisasikan secara terus-menerus lewat pendidikan, misalnya dengan memasukkannya kurikulum pendidikan resmi. Jawa Barat sudah melakukannya lebih dulu. Kenapa DKI Jakarta masih harus menunggu?
Seperti slogan yang sering diucapkan: Utamakan Bahasa Indonesia, Kuasai Bahasa Asing, dan Lestarikan Bahasa Daerah, pendirian Balai Bahasa Betawi kini penting dan mendesak. Jangan menunggu sampai anak cucu kita kehilangan jati dirinya sendiri terlebih dahulu.
*Penulis adalah alumni Sastra Indonesia Universitas Indonesia. Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi dan Perkumpulan Betawi Kita. Sehari-hari menjadi editor di media online.