Oleh : Tim Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi
LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 5) – Salah satu buah karya Muhammad Bakir yang sudah ditransliterasi dengan mengambil setting wayang, yang ditulis antara tahun 1884-1906, menghasilkan tidak kurang 14 manuskrip hikayat bertema wayang. Lakon Prabu Sapu Jagat yang diturunkan di website LKB ini salah satu dari itu. Manuskrip ini hasil transkrip dari buku Wayang Kulit Betawi terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Selamat menikmati Lakon Prabu Sapu Jagat berseri dari bagian pertama sampai bagian ke sebelas sebagai berikut:
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 1)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 2)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 3)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 4)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 5)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 6)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 8)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 9)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 10)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian Tamat)
Setelah Batara Narada menerima cincinnya, para punakawan itu saling berpandangan. Si Gareng menyikut Petruk. Petruk menyepak kaki Garubug “Ho..ho..ho, apa lagi hah,” sabda sang batara. “Ayuh lekas, jangan ragu.”
“…Eng..anu gusti pukulun..,” Garubug tergagap-gagap. “Eh.si Petruk mau bilang sesuatu.”
Garubug mendorong Petruk yang kebingungan. “Ayo bilang cepat,” ujar Garubug.”
“Nah, ayo lekas katakan,” sabda Batara Narada.
“Anu den, eh gusti,” sembah Petruk. “Ini katanya si Gareng mau minta sesuatu.”
Petruk mendorong Gareng ke depan.
“Ho..ho..ho, mau apa kau Gareng?”
“Minta upahnya Gusti,” jawaban si Gareng membuat wajah kedua abangnya merah padam.
“Ho..ho..ho,” gelak tawa sang batara meledak. Garubug dan Petruk menghantam kepala si Gareng bersama-sama. “Ho..ho..ho, jadi kalian minta upah, baik, baik katakanlah.”
Sejenak Garubug dan Petruk berpandangan, sedang si Gareng melongo.
Garubug dan Petruk menelan ludah dengan bingung.
“Aku, eh hamba ingin menjadi orang sakti yang berpangkat,” sahut Petruk Ragu.
“Walah..walah itu mudah,” sabda sang batara. “Dan kau, Garubug, kau
mau apa?”
“Hamba ingin menjadi raja besar yang sakti.”
“Naah, kau Gareng,” tukas Batara Narada. Mau apa kau?
“Aku..anu, hamba,” Gareng kebingungan. “Hamba mau jadi orang mpan saja,”
“Ho..ho..ho, itu semua mudah,” sang batara tergelak-gelak. “Aku akan sampaikan semua itu pada Batara Maha Raya. Nah sekarang kalian pulanglah.”
Ketiga anak Semar itu pulang dengan riang, Mereka tak henti-hentinya menandak dan menyanyi. Namun alangkah terkejutnya mereka. Puluhan raja dan satria mencegat. Mereka antara lain adalah Raja Menak Lawang dari Banjar Negara, Raja Banjar Persangga, Raja Ninggum Buana dan banyak lagi lainnya.
“Itu dia si penipu!” teriak seorang satria. “Ayo hajar mereka.” Serentak raja-raja dan para satria itu mengeoryok Garubug dan adik adiknya. Ketiga anak Semar itu berusaha bertahan sekuat tenaga.
Sementara itu, Raden Samba yang tengah berjalan pulang mendengar suara but di belakangnya. Ia menjadi heran, lalu ia kembali untuk melihat. Terkejutlah Raden Samba melihat para anak Semar tengah dikeroyok.
“Bedebah!” teriak Raden Samba. “Kuhabisi kalian semua.”
Raden Samba menerjang. Ia memukul kian kemari. Ia mengamuk bagai singa luka. Para raja dan para satria berhumbalangan terkena hantamannya Mereka segera bangun dan melarikan diri.
Sebentar saja lereng gunung itu telah senyap. Namun semua telah terlambat. Garubug dan kedua adiknya telah mati.
Sejenak Raden Samba termangu. Tak hentinya ia mengutuki raja-raja dan para satria yang telah membunuh para punakawan itu.
Beberapa memberitahukan para dewa. Namun ia takut, kalau ditinggal mayat para saat Raden Samba berdiri bingung. Ia ingin naik ke Suralaya Punakawan itu bisa saja dimakan anjing hutan. (Bersambung)