CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Selamat puasa. Raih predikat takwa.
TERAWE ANAK-ANAK …
Sari-sari atau keseharian anak-anak Betawi pada bulan puasa, seperti sudah disinggung pada tulisan-tulisan terdahulu, adalah hari-hari girang. Dari subuh sampai subuh lagi alias seharian tutug. Girang membantu nyawah, ngebon, ngangon, ngarit, ngadonin, ngamprah, ngebak, ngaji, dan sebagainya. Paling-paling kita ogah-ogahan jika diminta bantuan atas pekerjaan yang kurang disukai, tapi akhirnya pun tetap dikerjakan, meski ngured-ngured (meracau).
Sering kami diomelin oleh orang-orang tua, apabila terlalu susah diatur atau bercanda dengan teriakan-teriakan keras, terutama jika sedang terawe (tarawih). Catatan saya, candaan dan teriakan anak-anak memang sangat menyebalkan jika kita sedang khusyu’ salat tarawih. Tetapi girang bagi anak-anak tidak dapat dikait-kaitkan dengan apa yang ada dalam pikirannya orang tua. Mereka bebas dari aturan dan ketentuan yang sudah menjadi ukuran bertindak bagi orang tua. Nomor satu bagi anak-anak adalah girang.
Ngerjain terawe bulan puasa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan). Bisa dikerjain sendirian atau munfarid dan boleh dilakukan rame-rame alias bareng-bareng (berjamaah). Tapi pada umumnya orang kampung atau masyarakat Betawi yang tinggal di kampung Betawi, mengerjakannya bareng-bareng. Sebagai muslim tradisional atau ahli sunnah waljamaah yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU), masyarakat Betawi melakukan terawe 20 rakaat ditambah tiga witir.
Ketua langgar atau masjid — yang tidak lain adalah guru atau kiai dan muallim yang dihormati di kampung — sudah mengatur jedual (jadwal), meski secara tidak tertulis, tapi pada era awal 1980-an sudah mulai ditulis dan ditempel di papan maklumat, para petugas terawe selama sebulan. Siapa muazin, siapa bilal, siapa imam, siapa yang baca doa kamilin, siapa yang bakal tesuir (ceramah), dan siapa yang tukang tanggok selawat. Sebelum digunakan teromol, biasanya ada petugas berkeliling mulai shaf (baris) pertama sampai pengabisan, membawa kantong bekas kantong terigu atau jenis kantong lain untuk menarik infak atas duit selawat. Disebt duit selawat karena ketika petugas atau tukang tanggok berkeliling sembari membaca shalawat dan tentu diikuti jamaah.
Muazin dan bilal napasnya panjang dan suaranya merdu. Enak didengar dan terasa nyeeesss di dalam hati. Saya suka merem-melek jika Bang Atam atau Bang Akub mengumandangkan azan. Muazin dan bilal seangkatan saya, Surya dan Nurhadi. Waktu anak-anak saya pernah menjadi juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat kelurahan. Sebagai juara tentu suara dapat diandalkan. Jiaaahhh…! Lalu yang di bawah saya ada Ahya Ulumuddin, Zahruddin, Saamin, Yasin, dan Zakwanih.
Untuk imam tentu dacari yang benar-benar mengerti hukum mambaca Quran, bacaannya danta, makhraj hurufnya pas, suaranya keras dan indah. Pokoknya imam harus menguasai bacaan Quran dengan sempurna. Disebutnya ngarti panjang pendek atau paham ilmu tejuwid (tajwid). Enggak maen sered, jelas mana mad arid lissukun, mana mad thabi’i, mana kalkalah, mana iklab, mana ikhfa, mana izhar, dan seterusnya. Sekarang sering saya dengar bacan imam dalam shalat kurang pas atau bahkan makhraj huruf buruk, dan tidak sempurna hukum tajwidnya. Tapi kenapa mereka jadi imam shalat? Sediiihhh jadinya.
Sembahyang terawe yang 20 rakaat (tiap salam dua rakaat) ditambah tiga rakaat witir (dua salam), dikerjakan dengan girang dan riang. Tiap salam biasanya bilal mengumandangkan shalawat dengan merdu dan keras. “Allahumma shallai ala sayyidina muhammad”, ucap bilal. Lalu dijawab jamaah “Allahumma shalali alihi wasallim alaih…”. Tapi bagi anak-anak kalimat “Allahumma shalali alihi wasallim alaih…” sering hnya dibaca kata akhirnya saja, yaitu alaih dengan keras. Bahkan saking girangnya, sering anak-anak berteriak “aliiihhh… aliiihhh… aliiihh…” atau kadang ditambang dengan bang aliiihhh. Dasar anak-anak.
Anak-anak sering jail (suka megganggu atau nakal) dalam terawe. Kejailan tidak hanya dilakukan di antara mereka, bahkan kepada orang tua. Kejailan itu dilakukan ketika sujud dengan menggaruk telapak kaki sehingga orang yang digaruk kaget. Jenis kejailan yang lebih parah yaitu colok pantat. Orang yang dijailin colok pantat tentu kaget dan ngajrit atau bangun dengan tiba-tiba atau secara reflek menendang ke belakang. Anak-anak yang di belakang seolah-olah bukan dia yang melakukan kejailan itu. Mereka cuma cengar-cengir. Akibat perbuatannya itu, mereka mendaat cubit atau jewer. Ente ngalamin…? (Yahya Andi Saputra).