MATUNG, MOKO, ANDILAN

MANISAN PAYA

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masala-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa.

MANISAN PAYA

Saya masih ingat pada 1960-an, babe nanem (menanam) paya ada kira-kira delapan baris. Tiap baris ditanami sekitar 18 sampai 20 pohon paya. Orang Betawi memang punya kebiasaan potong leter dalam menyucapkan satu kata. Maka jadilah pepaya (Carica papaya L)  sering diucapkan paya. Waktu itu kan kebon masih lebar. Di tanah bagian samping rumah itulah babe nanem paya. Luas tanah yang dipakai untk nanem paya mungkin panjang hanya sekitar 50 meter dan lebarnya 20 meter. Sebab babe masih menanam tanaman lain, seperti singkong dan palawija di bagian-bagian tanah lainnya.

Waktu membuka lahan untuk ditanam paya, babe meminta bantuan tenaga Bang Armid (sudah meninggal). Dulu biasanya banyak sindang (tukang pacul) yang datang ke kampung kami untk mencari pekerjaan. Sebelum Bang Armid mencangkul lahan itu, babe memberikan penjelasan tatacaranya. Dijelaskan bagaimana membersihkan lahan dari batu, akar, alang-alang, dan lainnya. Lahan dipaculin dan diratain lalu dicampur dengan tai kambing atau tai kebo (pupuk kandang atau kompos) yang sudah disiapkan. Sedudah itu dibentuk galengan (meninggikan tanah) yang tingginya sekitar 40 senti meter dan lebarnya sekitar satu setengah meter. Galengan dibikin sebanyak delapan baris. Jarak antar galengan sekitar satu meter. Lalu dibuatkan lubang untuk menanam bibit paya. Jarak antar lubang sekitar 2,5 meter. Maka tiap galengan ditanami kira-kira 18 sampe 20 batang paya.

Babe mempunyai dua cara untuk menyiapkan bibit paya. Pertama dari biji yang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari. Biji dari buah paya yang paling besar.  Biji itu dijemur dan disimpan pada tempat penyimpanan khusus. Kedua, dengan cara nimu (menyemai benih pada wadah tertentu, termasuk polybag ketika plastik ini umum digunakan). Dengan nimu ini akan didapat pohon-pohon yang diperkirakan sehat. Umur timuan yang baik untuk dipindahkan sekitar sebulan atau sebulan setengah. Ketika pepaya Bangkok diperkenalkan, babe pun menanamnya.

Oleh babe, Bang Armid masih tetap diminta tenaganya untuk perawatan tanaman paya itu. Tiap pagi beliau nyiram, membersihkan tanaman liar, dan memeriksa hama yang mungkin menyerang tanaman itu. Juga harus diberikan pupuk, baik pupuk kandang maupun pupuk organik. Dalam tiap galengan selalu ada bibit yang melepes alias mati. Pada bekas lubang ini harus ditanami bibit baru.

Memperhatikan paya tumbuh subur dengan buah yang ronyok bergantungan, hati rasanya lega. Barulah kemudian kita panen sesudah sembilan bulan. Jika sudah musim panen, ada pembeli atau tengkulak yang datang. Sering pula babe membawa sendiri dagangan paya itu ke pasar. Berangkat subuh dengan menggunakan sepeda dilengkapi beronjong. Paling siang pukul sembilan, biasanya babe sudah pulang dari pasar. Saya masih ingat ketika pohon paya sudah makin tinggi, kita memetiknya menggunakan songgo atau tangga. Songgo itu sebenarnya sejenis galah, tapi pada bagian ujungnya dibuatkan wadah bulat untuk ngalap paya itu. Dengan songgo, paya tidak jatuh.

Bagi orang Betawi, paya dapat dikonsumsi dengan berbagai cara. Bisa dimakan yang sudah masak, manis segar rasanya. Bisa dijadikan salah satu bahan sayur asem dan sayur sambel godog. Bisa dilalap (paya muda) dicocol sambel gowang. Kombinasi lalap daun pepaya muda dengan daun jambu mede, merupakan kombinasi yang aduhai rasanya. Bisa dijadiin manisan. Nah, pada bulan puasa biasanya kaum ibu mempersiapkan manisan paya untuk memeriahkan lebaran.

Ibu-ibu Betawi rata-rata mahir membuat atau mengolah manisan paya. Namun sepengalaman saya, ada beberapa orang yang olahan manisan payanya memang mantap. Saya masih ingat ada Mk Haji Aini (almarhum), Pok Arijah (almarhur), Mak Haji Salamenah (almarhum), Cing Haji Ainun (almarhum), Pok Haji Sarokah, Pok Haji Saitim, dan Pok Haji Jamilah. Sebenarnya masih banyak nama lain, hanya saya sudah lupa nama-nama itu. Di antara nama di atas, yang sampai saat ini masih membuat manisan paya adalah Pok Haji Jamilah (usianya kini 70-an tahun).

Manisan Paya

Manisan paya yang dihasilkan oleh tangan Pok Haji Jamilah (kita biasa menyapanya Pok Jam) termasuk kelas premium (manisnya pas, kering, garing dan renyah). Memang Pok Jam enggak sembarangan memilih paya. Dia pilih paya mengkel (stengah mateng). Paya dikupas dan dipotong sesuai keinginan. Sekarang kan banyak variasi alat pemotong. Dicuci dan direndam menggunakan air kapur untuk menghilangkan getahnya. Kalau payanya masih muda alias masih putih belom ada warnanya, setelah diiris paya direndem dengan air garem dulu, biar getahnya hilang dan ga pait.

Gunanya kapur agar paya menjadi keras dan renyah/garing. Jangan gunakan kapur berlebihan karena dapat membuat paya jadi pahit dan enggak bisa dimakan. Setelah itu dimasak dengan air tawas yang mendidih. Matiin kompor, angkat dan titirisin. Kalo dipegang, paya hasil masak menggunakan air tawas terasa kesed (tidak lembab, tidak lembek).

Proses berlanjut terus. Sesudah tiris dan masih hangat, masukan ke wajan dan taburkan gula pasir (sesuai takaran), aduk sampai rata, diamkan sampai kulah (gula meresap). Sesudah bekulah dan payanya adem, hidupkan kompor dengan api kecil, aduk-aduk, masukkan daun jeruk sampai benar-benar ganting (menyatu dan gulanya basah kental). Saya wanti-wanti ya…, pesan Pok Jam, kalo gulanya sudah ganting dan meresap ke semua potongan paya, itu sudah cukup. Jangan sampe warna gulanya berubah. Gula putih tetep warnanya putih. Kalo sampae berubah warna, rasanya kurang sempurna. Angkat. Jadi dah. Taro di wadah yang enggak keraraban atau kepletikan kotoran. (Yahya Andi Saputra)

 

 

Check Also

CAMILAN LEGENDARIS DARI BETAWI

CAMILAN LEGENDARIS DARI BETAWI

Seiring dengan perkembangan zaman, seringkali ada pertentangan antara yang modern dan yang tradisional. Di satu …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *