CERITA PUASA ANAK BETAWI
Pengantar
Ahlan wasahlan syahri Ramadan.
Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.
Salamat puasa. Raih predikat takwa.
MALEM TOWONG
Sebagai anak-anak dan jika tidak diomelin, sehabis terawe atau sesudah tadarus, kita nimbrung mendengarkan orang-orang tua ngobrol. Kita sering ditakut-takutin jika sampai pada obrolan malem towong (ada juga yang menyebutnya malem tohong). Dikatakan pada malem towong anak-anak enggak boleh ngayab. Kalo ngayab entar dibawa setan keder atawa ditegrep setan item. Sebab pada malem towong semua setan, jin, hantu, dan semua makhluk jahat dibebaskan. Karena sejak awal puasa setan dirante (dirantai) dan dimasukkan penjara, maka ketika dibebaskan jadi gahar (napsu jahatnya bertambah-tambah). Sembari melongo, kita bertanya-tanya, emang malem towong, malem apaan?
Sepuluh malam terakhir bulan puasa jamaah langgar semakin ramai. Meraka i’tikaf (shalat sunat malam dan tadarus atau sekadar tidur-tiduran) sampai menjelang saur. Mereka bilang “nungguin lailatul qadr”. Konon kedatangan lailatul qadr ketika puasa sudah berjalan separuhnya. Tapi pada umumnya lailatul qadr diyakini turun ke bumi pada sepuluh terakhir puasa, terutama pada malam-malam ganjil. Masjid kian ramai orang i’tikap, walaupun pada malam 21, 23, 25, 27 dan 29. Malam lailatul qadr bagi orang Betawi adalah malam surga. Nabi Muhammad SAW menjelaskan : “Pintu langit semuanya dibuka pada lailatul qadr. Hamba yang shalat pada malam itu Allah jadikan tiap takbir pohon yang besar di syurga yang jika lewat di bawahnya menunggang kuda tidak cukup 100 tahun. Tiap rakaat diberikan rumah di syurga terbuat dari yakut merah, jambrut, dan permata. Tiap ayat Quran dalam shalat dibalas kampung indah dalam syurga. Tiap duduk dalam shalat adalah derajat dalam syurga. Dan tiap salam dalam shalat memeproleh pakaian dari pakaian syurga”.
Ada satu malam yang disebut malem tujuh likur, tepat malam ke-27. Malam ini menjadi istimewa karena diyakini sebagai malam turunnya lailatul qadr. Orang Betawi menyambutnya dengan lebih khusuk dan intensif dalam beribadah. Melazimkan i’tikaf di masjid atau tempat-tempat keramat lainnya. Malam ngalap lailatul qadr.
Beranjak dari malem tujuh likur, pada malam ke-28 bulan puasa dikenal sebagai malem towong. Malem towong secara harfiah bermakna malam yang hampa, malam yang nol. Makna filosofisnya yaitu kemungkinan dapat terjadi dan tercapainya koordinat tafawuti wal futuri antara garis tata surya dan semesta alam dengan garis kepuasan insan. Soalnya, menurut orang Betawi, manusia diwajibkan berpuasa reguler saat bioritmik tata surya berada pada titik paling rendah, paling labil, paling rapuh dalam menopang akidahnya. Dengan puasa kadar relijiusitas orang Betawi diservis, ditune up, dan diperbaiki segala rupa onderdilnya, sehingga kembali menjadi normal seperti baru kembali. Bak kata hadis, laksana bayi baru dilahirkan. Puasa menormalkan dan mengembalikan stabilitas kesatuan sistim untuk kemudian berada lagi pada poros fitri. Bagi orang Betawi, hal ini menjadi peristiwa besar tahunan jagat raya, sehingga tercipta kesatuan ummat, ummatan wahidatan.
Malem towong diartikan sebagai malam yang mengharukan sekaligus mengerikan. Dalam pengertian Betawi, memasuki tanggal satu bulan puasa, seluruh setan, dedemit, jin, dan makhluk halus dikumpulkan dalam satu penjara super besar. Dalam penjara itu pun mereka wajib diborgol, dirantai, diikat kakinya dengan bandulan besar. Tujuannya agar mereka tidak bisa bebas berkeliaran mengganggu manusia yang sedang puasa. Tapi pada akhir bulan puasa, seluruh setan, dedemit, jin, makhluk halus dibebaskan dari belenggu penjara. Mulailah mereka beraksi menggoda manusia. Setan korupsi beraksi. Setan penjilat beraksi. Setan begal beraksi. Setan rampok beraksi. Setan kicik beraksi. Setan si jakop beraksi. Setan longga-longga beraksi. Tuyul bebas keliaran. Setan bengis asik beraksi. Jin ifrit milir-mudik. Jin afrijul gaos ketawa ketiwi. Dan segala rupa setan, dedemit, jin, dan makhluk halus bebas merdeka menjadi provokator ulung di hati semua umat manusia.
Karena – katanya – kehendak Allah Azza Wajalla memang seperti itu, hamba Allah yang paling setia dan tak pernah melakukan dosa, yaitu malaikat, bersedih hati dan menangis sejadi-jadinya karena, pertama, setan dan konconya dibebaskan. Kedua, bulan Puasa, bulan yang mulia, bulan seribu bulan, akan segera berakhir. Maka pada malem towong, masyarakat Betawi sudah pasang kuda-kuda bersiap melawan segala macam rayuan, provokasi, dan intimidasi dari kaum setan, jin, dan konconya. Kesiapan itu ditunjukkan dengan cara, antara lain :
Pertama, siang hari dilakukan gotong royong bersih kampung (membersihkan tempat-tempat yang bet dan pojok–pojok yang gelap);
Kedua, sore menyiapkan colen atau obor dan meletakkannya di tiap persimpangan jalan, di tiap tempat yang gelap, di tiap tempat yang angker, dan sebagainya. Nanti masuk maghrib, semua colen dinyalakan. Sepanjang malam colen harus tetap menyala dan ada yang mengontrol menambahkan minyak jika ada yang mati. Dengan memberi penerangan pada tempat-tempat gelap dan angker, maka diharapkan setan dan konconya tak berani melakukan aksi menggoda manusia.
Ketiga, jamaah langgar, musholla, masjid melakukan tadarus sampai menjelang sahur dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Jika di langgar, musholla, masjid itu terdapat pelantang (toa atau pengeras suara), maka pengeras suara itu digunakan semalaman.
Dalam realitanya, seminggu terakhir bulan puasa godaan hari lebaran sudah meghantui masyarakat. Mulai dari ngapur rumah, beli pakaian baru, bikin aneka makanan lebaran, dan sebagainya sudah tak dapat dibendung. Apalagi tradisi andilan daging kebo atau membuat dodol merupakan hantu tersendiri bagi orang Betawi. Maka malem towong sedikit banyak memberikan pengharapan bahwa Allah SWT memberikan rahman rahim, perlindungan, dan ridla kepada hambaNya yang bertakwa. Wallahu’alam bissawab (Yahya Andi Saputra).