GESAH ANAK BETAWI
Assalamualaikum warahmatullahi wabaratuh
Tabè…!
Kite bersyukur kepada Allah yang telah memberika rezeki tiada terhingga, shalawat dan salam kepad junjungan nabi cemerlang, Muhammad SAW. Kami munajat semoga nyak, babe, abang, mpok, encang, encing senantiasa berada dalam lindungan dan ridla Allah azza wajalla. Amin ya mujibassailin…
Laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel dengan tema besarnya GESAH ANAK BETAWI. Gesah itu bahasa Betawi dari bahasa Arab. Dalam Bahasa Indonesia menjadi kisah. Gesah Anak Betawi berarti kejadian, cerita atau riwayat dan sebagainya dalam kehidupan sehari-hari yang dialami anak Betawi. Gesah ditulis oleh Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi. Kami berharap tulisan-tulisan ini dapat menambah informasi tentang kebetawian. Paling tidak menjadi ajang belajar bagi penulisnya. Saling berbagi dan mengisi, itulah misi Gesah Anak Betawi.
Semoga apa yang kami ikhtiarkan ini mendapat tanggapan positif dari pembaca dan peminat kebetawian. La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim.
Wassalamualaikum
Tabè…!
NUBA DAN NGUBEK EMPANG
Banyak teman dari berbagai kalangan dan latar belakang etnik, bertanya, “Kok bisa-bisanya sih kegiatan ngubek empang dilaksanain oleh orang Betawi? Emang ada akar tradisinya?”
Emang belon cukup danta kalo mencari asbabunnuzul atau akar tradisi ngubek empang. Maksudnya belum begitu jelas, sejak kapan masyarakat Betawi melazimkan kegiatan ngubek empang. Apabila mendengar cerita dari orang-orang tua — dalam konteks tulisan ini adalah orang yang usianya di ataS 60 tahun — khususnya mereka yang bertempat tinggal di daerah agraris, sesungguhnya kegiatan yang dianggap serupa dengan ngubek empang sudah ada sejak dulu.
Jaman dulu, bahkan bukan hanya ngubek empang, tetapi juga ngubek kali (sungai) lazim dilakukan masyarakat Betawi. Diungkapkan oleh orang-orang tua ada kegiatan yang disebut “nuba”. Nuba kemungkinan betasal dari kata “tuba” yaitu pohon yang akarnya beracun dan dapat memabukkan ikan dan sebangsanya. Dalam bahasa Latin, pohon tuba namanya Derris elliptica. Pada waktu-waktu tertentu masyarakat nuba kali artinya meracun air sungai dengan racun akar tuba untuk mendapatkan ikan. Kegiatan nuba kali ini dilakukan bersama-sama atau bergotongroyong. Kegiatan nuba kali ini mengungkapkan pola kebersamaan masyarakat Betawi pada masa itu.
Lalu bagaimana dengan ngubek empang? Tentunya kegiatan ini pun sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Betawi. Masih berdasarkan cerita orang-orang tua, apabila nuba kali dapat dilakukan kapan saja sesuai paketan atau mufakat atau rempug kampung, maka ngubek empang dilakukan untuk menyambut hari-hari besar, khususnya hati-hari besar Islam, seperti muludan (maulid Nabi, Isra Mi’raj, dll).
Diceritakan, dulu di kampung Terogong, Kelurahan Cilandak Barat, Jakarta Selatan, tradisi ngubek empang sudah rutin dilakukan. Guru Haji Minan, seorang muallim sekaligus pemimpin musholla Alfurqon (kini menjadi Masjid Almuttaqien) dan sesepuh kampung itu memiliki sawah luas dan beberapa empang. Satu empang dari sekian banyak empangnya dikhususkan sebagai persediaan untuk tujuan itu.
Sehari sebelum pelaksanaan muludan, Guru Haji Minan mengumumkan kepada masyarakat agar berkenan gotongroyong melakukan penangkapan ikan di empangnya. Maka pagi-pagi masyarakat berduyun-duyun menuju empang untuk menangkap ikan. Caranya, pertama, air empang ditimba atau dikeringkan (karena di sekitar empang ada entuk atau mata air, empang tidak kering 100%); kedua, beberapa orang membersihkan empang karena biasanya empang dipasangi pengaman berupa cabang-cabang pohon atau bambu untuk mengamankannya dari pencuri; ketiga, setelah empang aman semua orang yang datang ke lokasi turun bersama-sama ke empang. Tentu saja dengan turunnya orang secara bersamaan ke empang, suasananya jadi riuh-rendah dengan canda sukaria dan otomatis mereka mengubek empang agar ikan klenger atau mabuk. Tentunya untuk memudahkan menangkap ikan, masyarakat membawa perlengkapan seperti susug, tanggok, seser, pengki, dan sebagainya. Hasil tangkapan yaitu ikan mas, tawes, dan gurame dikumpulkan di satu tempat. Ikan-ikan kecil yang tidak dipelihara, seperti betik, betok, mujair, sepat, benciritan, sili, gabus (boncelan, kocolan), lele, dan lain-lain bebas diambil oleh mereka yang berhasil menangkapnya. Terkadang ada juga yang menangkap ula aer, ula kadut, dan moa. Tentu si penangkap kaget, kekirig, dan keluar keringat dingin.
Ikan tangkapan itu dibawa pulang dan diserahkan kepada kaum ibu untuk diolah dengan berbagai olahan. Ada yang dipepes, dipesmol, dipecak atau digoreng. Hasil olahan itulah yang nanti diberikan kepada jamaah dalam bentuk berkat, setelah selesao muludan. Sebungkus berkat — berkat dibungkus daon pisang batu atau daon jati — berisi nasi putih, sepotong ikan pesmol, sepotong semur daging kebo, acar bumbu kuning, dan serondeng. Berkat inilah yang dinikmati jamaah di rumah bersama keluarganya.
Maka ngubek empang sudah menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat Betawi secara turin-temurun. Tujuannya untuk membina gotongroyong, memupuk solidaritas, memperkuat kebersamaan, dan berbagi. Bila di abad 21 kegiatan ngubek empang kembali marak, patutlah diapresiasi setinggi gunung Salak, karena di dalamnya ada nilai luhur yang kudu dijunjung, yaotu gotongroyong, persaudaraan, dan berbagi kebahagiaan (Yahya Andi Saputra).