SEJARAH JAKARTA DAN ORANG BETAWI (1)

SEJARAH JAKARTA DAN ORANG BETAWI (1)

Yahya Andi Saputra

Kawasan yang kini dikenal dengan Jakarta, menjelma dari proses alamiah pengendapan lumpur berasal dari daerah pegunungan di selatan. Endapan lumpur itu terbawa arus sungai (Ciliwung, Angke, Cisadane, Citarum, Bekasi, dan lain-lain) yang menciptakan dataran yang luas. Berdasarkan analisa ilmu lapisan tanah, dataran itu tercipta sekitar 5000 tahun yang lalu (Sagimun, 1988: 2-5). Kesuburan tanah dan ketersediaan atau kejernihan airnya menjadi faktor utama bagi manusia untuk mencari sumber penghidupan dan tempat tinggal.

Narasi sejarah tetang Kota Jakarta dan orang Betawi merupakan dua hal yang berbeda. Jakarta yang dikenal sekarang ini sebagai Kota Metropolitan, merupakan proses metamorfosa dari sebuah kawasan yang dahulu disebut bandar. Bandar di sini dapat diartikan sebagai kota, tempat berdagang, dan pelabuhan. Fungsi sebagai kota, tempat bedagang, dan pelabuhan ternyata sudah ada sejak lima ratus tahun sebelum masehi. Para ahli kepurbakalaan telah membuktikannya dengan melakukan ekskavasi pada lokasi yang dinyatakan sebagai situs atau daerah temuan benda-benda purbakala.

Memasuki abad ke-2 M (Danasasmita, 1984), mengikuti munculnya Kerajaan Salakanagara, nama kawasan ini menjadi Bandar Salaka. Tatkala abad ke-4 Kerajaan Tarumanagara berkuasa, menjadi Bandar Taruma. Ketika di abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya menguasai kawan ini, menjadi Bandar Kalapa. Ketika abad ke-12, Kerajaan Sunda Pajajaran berkuasa, berganti nama menjadi Bandar Sunda Kelapa. Ketika tahun 1527, Fatahillah menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran, namannya menjadi Jayakarta dan menjadikan pelabuhan Sunda Kelapa sebagai kawasan staregis. Ketika VOC membumihanguskan Jayakarta tahun 1619, Jan Pieterzoon Coen  (gubenrnur Jenderal VOC) menggati nama kawasan menjadi Batavia. Tatkala Jepang menjajah Indonesia (192-1945), kawasan ini dinamakan Jakurata. Begitulah dalam sejarahnya Kota Jakarta mengalamai beberapa kali pergantian nama.

Dari uraian di atas, jelas dapat diketahui runtutan kronologis bahwa Kota Jakarta suda dihuni oleh manusia sejak sebelum masehi. Manusia yang mendiaminya tidak serta-merta disebut etnik Betawi. Penamaan pemukim awal di kawasan Jakarta ini dengan penamaan etnik Betawi baru beberapa abad kemudian. Penamaan itu pun dikemukakan oleh bergabagai ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Sementara itu, sebagaimana diutarakan oleh Ridwan Saidi (2010: 22-33), Betawi adalah orang-orang atau etnik yang mendiami kawasan Jakarta dan sekitarnya secara turun-temurun. Sampai abad ke-17, para ahli menyebut etnik ini dengan sebutan manusia proto Melayu Betawi. Manusi Proto Melayu Betawi menjadi rakyat dari kekuasaan yang silih berganti. Batawi sebagai nama entik diketahui berdasarkan dokumen tertulis (Testamen Nyai Inqua) pertengahan abad ke-17, tepatnya sekitar tahun 1644. Dapat diduga sebelum kota pendudukan itu oleh Belanda diganti namanya menjadi Batavia, sudah dikenal Betawi sebagai nama suku bangsa.

Nama Betawi mulai menginternasional tatkala Syekh Juned menambahkan kata Betawi di belakang namanya menjadi, Syeh Juned Al-Batawi, pada periodebeliau bermukim di Mekkah tahun 1834. Syeh Juned kemudian diangkat menjadi imam besar Masjidil Haram. Nama Betawi menjadi kian terkenal dan menjadi brand atau merek dagang dari berbagai kalangan. Paling sedikit ada tiga surat kabar yang menggunakan nama Betawi, yaitu : Soerat Chabar Betawi (CV Lange, 1858), Bintang Betawi (Van Dorp & Co, 1900-1906), dan Berita Betawi (Perusahaan Betawi, 1932/1933). Nama majalah pun banyak menggnakan nama Betawi.

Dalam buku karangan GJ. Fillet, Plaantkundig Woordenboek van Nederlandsch – Indie, terbitan Amsterdan, J.H. de Bussy, 1888, kata Betawi merupakan nama pohon yang dalam bahasa Latin disebut Cassia glauca L. Orang Betawi menyebutnya pohon Ketepeng dan banyak tumbuh di pinggir sawah atau di sekitar pinggir kali. Itu sebabnya seniman masa lalu kerap mencipta karya berdasar nama tumbuhan, seperti Jali-Jali, Sirih Kuning, dan lain-lain. Jadi dapat diambil kesimpulan, kata betawi yang kemudian menjadi nama etnik/suku, berasal dari nama tumbuhan (Yahya, 2022: vi-xxi).

Bukankah secara toponimi (penamaan suatu kawasan atau tempat) di Jakarta dan sekitarnya, terdapat ratusan naman kampung atau tempat yang berdasarkan nama pohon atau kontur tanah. Sebut saja misalnya kampung rambutan, dukuh, condet, pedurenan, menteng, sirih, kelapa, sereh, kepu, menteng, bintaro, bambu, kemang, marunda, pinang, gandaria, ketapang, jati, labu, gadung, johar, manggis, pondok terong, pondok kopi, marunda, srengseng, ketapang, dan lain-lain.

Etnik Betawi sebagai etnik inti Kota Jakarta, menjadi saksi pergantian kekuasaan dari zaman ke zaman. Orang Betawi menjadi rakyat kerajaan-kerajaan dan kekuasaan (penjajah) yang berkuasa di sekitar Jakarta. Pengalaman dan penderitaan yang silih berganti itu, membuat etnik Betawi kian matang sebagai etnik. Fleksibilitas dan kemampuannya menyerap berbagai peradaban lokal dan interlokal, membuatnya kian berkepribadian atau berkarakter yang kemudian membentuk multikultur. Multikulturalis kebudayaan Betawi dapat dilihat dari ekspresi kesenian-keseniannya. Lihat saja misalnya pada beberapa seni musiknya (gambang kromong, rebana, tanjidor, gamelan ajeng), kulinernya, tata busananya, ritusnya, dan lain sebagainya.

Jika dikaitkan dengan historiografi, akan dikenal istilah lapis-lapis historis masyarakat Betawi. Pertama, Lapis wal, dimulai pada abad ke-5 SM. Peradabn sudah memperlihatkan tanda-tandanya, meskipun masih didominasi oleh peradaban purba. Penyebutan nama suku belum ada, disebut saja Manusia Proto Melayu Betawi. Hasil penggalian arkeologis yang dikenal dengan Situs Buni menjadi rujukan. Situs ini membentang di pesisir utara Jawa Barat dimulai dari Desa Buni, Babelan Bekasi sampai Banten.

Kedua, Lapis Tengah Lokal. Dimulai abad 2-13 M. Kerajaan pertama, yaitu Salakanagara sudah eksis yang diawali oleh bebongkot atau tokoh yang bernama Aki Tirem (Aki Luhur Mulya). Ketika Salakanagara memudar, Kerajaan Tarumanagara mengambil perannya. Pada masa kerajaan Tarumanagara ini, dapat ditemukan situs dan prasasti yang menandakan wibawa dan kekuasaan raja-rajanya. Salah seorang raja yang terkenal adalah Purnawarman. Kedigdayaan Raja Purnawarman dapat diketahui dari Prasasti Tugu, Batu Tulis, dan lain-lain yang tersebar di beberapa tempat. Ketika Kerajaan Tarumanagara memudar, muncul kekuatan lain yaitu Kerajaan Sriwijaya. Munculnya Sriwijaya di Jawa Barat bagian utara ini karena kekuatan karajaan di Jawa (Barat dan Tengah) tidak efektif. Sriwijaya membawa pengaruh peradaban Melayu ke wilayah ini. Kebudayaan Melayu memperoleh kesempatan menetap dan mempengaruhi masyarakat Bandar Kelapa dalam berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Masyarakat Melayu Kelapa atau Melayu Betawi mulai mantap berbahasa Melayu dan norma-norma kemelayuan..

Ketiga, Lapis Tengah Lokal (abad ke-14 – 15). Kerajaan Pajajaran menguasai kawasan ini dengan mengelola pelabuhan Sunda Kelapa. Kerajaan Pajajaran berkongsi dengan kekuatan asing yaitu Porugis dengan melakukan nota kesepakatan (Memorandum of Understanding, MoU) perdagangn dan keamanan. MoU ini membuat gerah kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan ini mengutus Fatahillah untuk merebut kekuasaan di pelabuhan. Peradaban masyarakat Betawi kian memperlihatkan nuansa-nuansa berbauran unsur local. Betawi menyerap unsur kesenian Jawad dan Sunda. Ekspresi ini dapat dilihat dari kesenian Topeng Betawi, Wayang Kulit Betawi, dan Rebana Biang.

Keempat, Lapis Kolonial, yaitu sejak awal abad ke-17 dengn berdirinya kota Batavia sampai masa pendudukan Jepang. Peradaban Betawi memperkihatkan wajah mutikultur. Lapi ini dapat dikatakan masa puncak penyatuan lokal-lokal, lokal-timur, lokal-barat.

Kelima, Lapis Mutakhir. Lapis ini mulai sejak proklamasi, pascakemerdekaan, dan sampai kini. Lapis ini memperteguh lapis sebelumnya yang memperlihatkan pola atau pranata modern mengikuti dinamika global.

Wilayah hidup etnik Betawi kemudian lebih dikenal dengan wilayah budaya. Oleh karena itu etnik Betawi tidak saja mendiami wilayah adminstrasi DKI Jakarta, tetapi juga merangsek sampai provinsi lain (Jawa Barat dan Banten). Karena wilayah budaya itulah, maka etnik Betawi mempunyai karakter berbeda antara wilayah yang satu dengan lainnya. Maka sering disebut sebagai Betawi Pesisir yang berkatakter budaya bahari, Betawi Tengah yang berkarakter budaya populer, dan Betawi Pinggir yang berkarakter budaya agraris. Masing-masing wilayah mempunyai varian karakter bahasa atau dialek yang berbeda (Yahya, 2022: xxvii-xxviii).

Kesenian Topeng Betawi hidup dan berkembang di wilayah budaya Betawi agraris, khususnya pada wilayah yang berbatasan langsung dengan budaya Sunda. Oleh sebab itu kesenian ini sangat kuat pengaruhnya dengan kesenian Sunda. Gamelan Ajeng yang menjadi musik pengiring kesenian Topeng Betawi merupakan pengaruh gamelan Sunda. Kesenian wayang (kulit, golek, dan orang) menyerap unsur kesenian dari Jawa dan Sunda.

 

Referensi

Danasasmita, Saleh, dkk. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam: Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Pemerintah Propinsi Daerah Tingat I Jawa Barat.

Sagimun MD. 1988. Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta : Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Saidi, Ridwan. 2010. Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi. Jakarta : Perkumpulan Renaissance Indonesia.

Saputra, Yahya Andi. 2022. Ritus-Ritus Masyarakat, Pengobatan, dan Dukun Betawi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Check Also

Pengurus LKB Turut Menjadi Juri di FTBI Jawa Banten, Sunda Banten dan Betawi 2024

Pengurus LKB Turut Menjadi Juri di FTBI Jawa Banten, Sunda Banten dan Betawi 2024

kebudayaanbetawi.com Festival Tunas Bahasa Ibu Jawa Banten, Sunda Banten dan Betawi tahun ini digelar di …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *